Perginya Penyanyi Patah Hati dengan Amalnya
Catatan Ringan T. Taufiqulhadi
Didi keluar dari pakem itu. Setelah memasukkan semuanya alat-alat musik itu, justru warna dasar musik Jawa menghilang. Tinggal hanya Didi menyanyikan bahasa Jawa. Campursari Didi mendapat tantangan besar pada awalnya karena sudah dicampur dan diaduk tapi tidak ada “sari”-nya lagi. “Itu bukan campursari,” teriak pengamat musik campusari, Bambang Prasetya.
Tapi Didi jalan terus karena pasar menyambutnya dengan gembira. Keberanian Didi bereksperimen, mengingatkan kita kepada Mashabi. Mashabi yang berkarir pada awal akhir 1950-an hingga pertengahan tahun 1960-an, dipandang sebagai pembaharu lagu-lagu Melayu Deli. Mashabi ini dianggap terlalu berani ketika mempreteli pakem asli musik Melayu.
Saya terkesan, keduanya ada kesamaan. Keduanya menyanyikan lagu-lagu bertemakan patah hati. Hanya Didi mencurahkan dalam campursari genrenya, sementara Mashabi dalam orkes Melayu yang telah dipermaknya. Mashabi pernah patah hati yang tak tersembuhkan setelah hubungan asmara pemuda Kebonkacang, Jakarta ini, dengan seorang gadis yang dicintainya kandas oleh orang tua si gadis. Mereka menentang hubungan itu karena persoalan strata sosial dalam komunitas tersebut.
Mashabi yang patah hati ini merombak musik Melayu yang semula hanya menggunakan alat musik gong, rebana, rebab, biola, dengan memasukkan alat musik modern seperti gitar dan kibor. Demikian juga lirik lagunya yang semula hanya bertemakan keindahan alam dan kepahlawanan, diganti total sesuai hati Mashabi menjadi bertemakan cinta. Musik Mashabi inilah yang kemudian menjadi cikal-bakal musik dangdut di tanah air. Sayang Mashabi tidak bisa berkiprah lama dalam musik. Ia meninggal dalam usia 24 tahun.