Perginya Penyanyi Patah Hati dengan Amalnya
Catatan Ringan T. Taufiqulhadi
Saya menyimak wawancara dengan maestro lagu campursari ini. Saya terkesan ia mungkin belum benar-benar menyadari bahwa ia salah satu penyanyi paling kondang seantero Indonesia. Ia masih saja berpikir, ia hanya penyanyi dalam bahasa Jawa ngoko, dan belum dekat dengan kota besar. Diceritakan oleh seorang Youtuber, ketika ia datang ke Solo untuk temu wawancara, Didi bertanya, apakah orang Jakarta menyukai lagunya.
Ia berpikir, Jakarta masih menjadi tembok tak tertembus bagi lagu-lagunya. Padahal, artis penyanyi jebolan kelas dua SMA tanpa menyadari, ia telah bernyanyi dalam bahasa yang sangat komunikatif. Juga, ia menyanyi dan menulis lagu dalam bahasa yang didukung oleh lebih 80 juta penggunanya, yang tersebar di Jawa, Sumatera, Suriname dan Belanda.
Didi ingat lagu-lagu yang lahir di trotoar Jakarta seperti We Cen Cu, Cidro, Moblong-moblong, Lerteler Meneh dan Podo Pintere. Tapi ia belum berpikir untuk membawa ke studio rekaman, meski lagu-lagunya itu sudah menjadi “hit” sendiri dalam bis kota. Ia kemudian tergerak untuk membawa ke studio rekaman karena dorongan para penumpang bis kota itu sendiri.
Album pertama, keluar tahun 1989, yang di antara lagunya Cidro itu. ia menunggu dengan getar-getir sambutan pendengar musik di tanah air. Tapi yang ditunggu-tunggu tidak muncul, justru yang meledak di negara orang lain, di Suriname dan Belanda, dua negara dengan warga asal Jawa cukup penting. Sealur dengan meledak albumnya yang pertama, Didi pun mendapat tawaran manggung di Belanda dan kemudian ia bolak-balik ke Suriname. Jadi di Belanda itu pertama kali, bukan di tanah air sendiri, ia memenuhi janji pada neneknya untuk “jadi orang panggung”.