Perginya Penyanyi Patah Hati dengan Amalnya

Catatan Ringan T. Taufiqulhadi

T. Taufiqulhadi (CDN/Istimewa)

BAGI yang merasa patah hati, dengarlah Didi Kempot. Bagi orang Jakarta yang rindu kampung halaman di Jawa, disarankan dengarlah Didi Kempot. “Rezeki saya naik karena saya menulis lagu-lagu tentang patah hati…dan kebetulan lagu-lagu seperti itulah yang paling mudah saya buat,” kata anak Solo yang baru meninggalkan kita tersebut.

Didi Kempot, seperti dalam lagu, berbicara tentang kehidupannya sangat ringan dan tidak ada yang tabu. Ia berbicara tentang ayahnya yang hanya seorang pelawak, profesi yang tidak disukai oleh neneknya. Tapi Didi justru sangat menghormati Ranto Edi Gudel, walaupun menurut neneknya hanya badut. Ketika ayahnya bersiap manggung, ia dan kakaknya Mamiek Prakoso, akan duduk masing-masing sebelah kiri dan kanan  ayahnya memperhatikan  sang pelawak itu melakukan pemanasan dengan gendang. “Le, hari ini aku manggung, dan berapa pun pun dapat, itu rezeki kita,” ungkap ayahnya, yang kemudian selalu membekas di hati Didi. Bagi Didi, ayahnya bukan badut dan tidak lucu. Ia ayah yang  meletakkan masa depannya.

Mungkin itulah sebabnya, ia bilang kepada neneknya, ia ingin seperti ayahnya.  “Untuk jadi badut,” sergah neneknya. Neneknya memiliki sebelah kaki yang tidak sempurna karena kecelakaan, dan ia membuka warung di Ngawi untuk menghidupi mereka berdua. Kurus dan ditopang tongkat, tapi Didi  menerima kasih sayang yang melimpah dari perempuan renta yang ringkih ini.

“Bukan,” jawab Didi. “Orang manggung.”

Saya bisa membayangkan kehidupan Didi waktu kecil, yang serba terbatas. Kedua orang tuanya bercerai. Maka dari kelas satu hingga tamat SD, ia berada dalam asuhan neneknya. Memasuki SMP ia baru bergabung kembali dengan ayahnya. “Ayah, ibu dan kakak-kakak, pasti sangat rindu kepada saya,” ungkapnya, pada sebuah acara di TV.

Lihat juga...