Membajak Sampai Mati

Catatan Ringan Akhir Pekan T. Taufiqulhadi

DENGAN menyisihkan sedikit uang saku bulanan, akhirnya pada 1977 untuk pertama kali dalam hidup, saya berhasil membeli sebuah kaset: Rod Steward. Pembelian yang sangat sensional dan emosional karena itu sebuah kaset Barat dengan penyanyi yang paling banyak disebut-sebut di kelas saya.

Saban hari kaset yang berlabel Hins Collection itu dan berisi antara lain lagu “Sailing”, “Meggie May”, “I’d Rather Go Blind”, “The First Cut is The Deepest“, saya putar pada sebuah tape recorder butut, apkiran paman saya yang bekerja di sebuah apotek dekat Sungai Aceh.

Saat-saat terakhir, tape recorder itu nyaris tidak jatuh ke tangan saya, setelah ia mengetahui saya akan memutar lagu-lagu Rod Steward yang Barat, bukan Khalidah Munasti yang gambus.

Dengan demikian dapat saya pastikan juga, saya tidak pernah berkenalan dengan piringan hitam (PH) seumur-umur. Itu barang mewah: ayah saya, seorang petani di desa, mana mau membeli turntable, alat pemutar PH, yang mahalnya bukan alang-kepalang itu.

Tapi yang saya tidak sadari juga, di era remaja saya itulah sedang terjadi pergeseran bisnis rekaman dari PH ke kaset. Bukan pergeseran biasa, yaitu sekedar hilangnya PH yang mahal berganti kaset yang tiga kali lebih murah. Tapi dalam saat pergeseran itu, dimulai pula sebuah praktik baru dalam bisnis rekaman: pelanggaran hak cipta.

Awal tahun 1960-an hingga pertengahan tahun 1980-an adalah era menjamur munculnya perusahaan-perusahaan rekaman yang membajak karya orang di Indonesia. Perusahaan urusan bajak-membajak lagu pertama di Indonesia mungkin namanya Nirwana Record di Jakarta, dan karena empuk segera disambar oleh perusahaan Bandung, Yess, namanya. Setelah itu, muncullah BSR, Aquarius, King’s Record, Hins Collection, Atlantic Record dan lain-lain di Jakarta.

Lihat juga...