Seperti penyakit, mereka tidak malu-malu membajak lagu siapa saja dan jenis apa saja. Karena itu pula mereka ketemu batunya. Suatu ketika, mereka membajak “Live Aid“, yang digagas Bob Geldof pada 1984.
Tersentuh dengan kelaparan dahsyat yang menimpa Afrika saat itu, si “I Don’t Like Monday” ini mengajak semua teman-temannya seperti Elton John, Rolling Stones, Queen dan puluhan penyanyi top dunia lainnya untuk bikin konser bersama. Hasilnya disumbang ke orang kelaparan di Afrika.
Tukang bajak dari Indonesia terlibat pula. Bukan untuk menyumbang, tapi ingin mencuri. Modusnya, mereka mengirim seorang utusan ke konser itu, dan di sana secara dia-diam sang utusan ini merekam konser dan membawanya ke Indonesia untuk diperbanyak.
Hasilnya, bukan sekadar dijual di sini, bahkan diekspor ke mana-mana termasuk ke negeri Bob Geldof sendiri. Bob yang mengetahui acara amalnya dicuri orang Indonesia, mengamuk habis-habisan.
Ia menggeruduk KBRI di London. Para diplomat kita yang lagi enak-enak ngopi untuk mengusir hawa dingin di udara beku itu, terkejut dan gelagapan. Majelis Rendah Inggris pun ikut bergabung, bukan di konser tapi di parlemen dengan menuding-nuding ke arah Jakarta.
Mungkin mereka tidak bisa membayangkan ada manusia di muka bumi ini yang demikian bego bin konyolnya: hasil jarahan dijual kepada pemiliknya kembali.
Karena dipermalukan oleh Bob Geldof ke delapan penjuru mata angin ini, terbitlah Keppres no. 7/1988, yang tidak membenarkan lagi mencuri lagu orang. Sejak 1 Juni 1988, pasar seluruh Indonesia bebas kaset Barat nonlisensi atau bajakan.
Maka berhentilah membajak kaset Barat, tapi mereka terus membajak karya saudara sebangsanya. Hanya di era YouTube ini, kata orang, para pembajak gelagapan sedikit. Mungkin mereka masih belum tahu setelahnya. ***