Menyadari tubuh yang mulai lembab menuju kering, dikenakannya gaun malam lalu duduk di meja kerja. Dipandanginya sebuah pigura kayu yang terpajang di atas meja. Di balik kacanya, terdapat foto sepasang suami istri dan anak berseragam taman kanak-kanak.
Raut wajah ketiganya tidak menampakkan ekspresi senang maupun sedih. Tatapannya terlihat masih lekat kepada pigura.
Teringat ia pada ibu. Hingga saat ini tak pernah ia tahu mengapa ibunya bunuh diri. Ia ingat bahwa sepulang dari rumah Ina malam itu ia dan ayahnya terkaget-kaget melihat ibunya tergeletak di dapur.
Sebilah pisau menancap di perutnya. Dalam. Tersisa gagang pisau tegak vertikal. Ia takut tapi tidak berteriak. Ayah mencabut pisau dari perut ibu. Mengambil apa saja yang berwujud kain di sekitarnya sambil berteriak minta ditelponkan ambulans.
Darah yang masih muncrat dari bekas sayatan di pergelangan tangan kiri ibu membasahi celana ayah. Ia yang sedari tadi disuruh menelpon ambulans, masih terus menatap ibunya. Tidak bergerak.
Ia tertawa mengenang sikapnya kala itu. Dan mulai berpikir bahwa mungkin ibunya tidak akan mati jika ia segera menelpon ambulans alih-alih diam mematung.
Diingatnya pula bapak-bapak ronda yang sibuk menggoyang-goyangkan gembok gerbang sembari memanggil nama ayahnya dari sana. Tak lama kemudian ambulans datang bersama orang-orang yang mendengar sirine mobil itu.
Sehari setelah kematian ibu, ditemukannya ayah ambruk di dapur. Matanya langsung tertuju pada sepiring ikan goreng asam manis di atas pemanas makanan. Itu masakan terakhir ibu yang disimpan ayah dalam lemari pendingin kemarin.
Mulut laki-laki itu mengeluarkan busa putih. Ia menatap ayahnya. Tidak bergerak. Dan kembali rumah jadi ramai dengan suara-suara (yang baginya) tak perlu.