DULU ia ingin tamagotchi dan makan buah leci sepuasnya. sesampainya di rumah, namun keinginannya selalu dibekap oleh buku.
Ia sibuk membaca buku paket bahasa Indonesia kelas satu sekolah dasar. Padahal masih duduk di taman kanak-kanak kelas nol besar. Ayahnya membelikannya banyak buku meski ia ingin sebuah tamagotchi. Ibunya pernah menangis saat mengajarinya membaca.
“Kamu mau jadi apa kalau membaca saja tidak becus?”
Kalimat itu terpahat jelas dan dalam di kepalanya. Sampai sekarang.
***
KEMBALI ke rumah dengan wajah lelah, ingin rasanya ia menaburkan bedak bayi ke permukaan cermin agar keringat dan hitam sarat di bawah matanya terlihat samar.
Ia masih ingin tamagotchi dan makan buah leci sepuasnya. Kini ia sudah bisa mewujudkan salah satu: makan buah leci. Di lemari pendingin tidak pernah absen satu hari pun kehadiran yang namanya buah leci.
Dinding di dalam rumahnya tersusun atas buku-buku. Disusun sesuai ukuran, bukan jenis. Sebab majalah Donal Bebek tidak bisa disandingkan dengan majalah Cosmopolitan. Begitu juga novel Kura-kura Berjanggut yang tidak bisa berdiri sederet dengan novel Ular Tangga, serta The Catcher in the Rye dan To Kill the Mockingbirds. Hanya ukuran tinggi yang bisa menyatukan mereka.
Ia senang menyusun buku-buku yang telah dibacanya. Sejak penghuni rumah ini satu per satu pergi, kebiasaannya menyusun buku mulai berlangsung. Dilanjutkan dengan pemetaan ruangan sesuka hati.
Ruang untuk yoga di sisi belakang dekat pohon-pohon cemara ekor kuda. Ruang untuk membaca buku-buku baru di samping kanan dekat pohon eukaliptus. Ruang untuk menangis di samping ruang untuk yoga—dengan sembulan pohon mawar liar di ambang jendela.