Sora dan Rumahnya

CERPEN ILDA KARWAYU

Ia kaget dan langsung membalik horizontal 180 derajat kursi kerja yang sedang didudukinya.

“Nggak, hanya ganti case.”

Pegawainya tertawa sambil menutup mulutnya dengan punggung tangan sebelah kiri. Sedangkan tangan kanan menenteng beberapa berkas. Diliriknya berkas-berkas tersebut dan bertanya apakah semua berkas itu sudah beres atau masih ada yang perlu didiskusikan.

“Sudah, Bu. Ini tinggal dikirim ke pusat.”

Ia berterima kasih lalu mengambil seluruh berkas dari tangan pegawai dan kembali ke posisi semula: menghadap meja. Tidak lagi ia sentuh ponsel pintar yang tadinya menjadi pusat perhatian.

Ia mulai sibuk memeriksa berkas dan menyusunnya kembali sesuai tanggal. Dari tanggal satu ke tanggal 26. Sebuah titik hijau menyala-nyala dari ponsel pintarnya. Tanda pemberitahuan pesan masuk. Ia melirik, tapi tidak menanggapi.

Tamagotchi sudah tidak lagi dijual di mana pun. Hanya leci yang masih ada di supermarket terdekat. Ia berjalan lima menit dari kantornya menuju supermarket. Beli satu kilogram leci lalu pulang.

Pagar rumahnya sangat tinggi. Setinggi pohon ketapang yang tumbuh sehat di taman-taman sekolah. Pagar yang terbuat dari kayu jati, yang sisi-sisinya dilapisi besi bercat hitam, membuat rumahnya seperti kotak kayu besar dengan sisi atas terbuka.

Pohon-pohon besar yang tumbuh di belakang rumahnya cukup terlihat dari depan pagar luar rumahnya. Siapa pun yang lewat mungkin akan berasumsi betapa repotnya jika tiba-tiba meninggal sendirian di rumah semacam itu.

Dari halte bus ia perlu berjalan sekitar 20 menit untuk sampai ke rumah. Pukul delapan malam jalan kecil menuju rumahnya sudah sepi. Lain halnya saat berangkat pada pukul tujuh pagi, ia disambut keramaian pedagang sayur-mayur.

Lihat juga...