Sora dan Rumahnya

CERPEN ILDA KARWAYU

Kadang lewat juga pedagang pot bunga, kadang pedagang bibit bunga, bahkan pedagang tirai bambu. Tetangga sangat jarang terlihat. Pagar-pagar rumah lain memang tidak setinggi rumahnya, tapi ia tidak bisa mengintip sosok tetangga bila pagar tertutup. Dan memang selalu tertutup.

Tak sengaja ia menatap sebuah pagar rumah tua. Pagar paling rendah dan sudah berkarat besi-besinya. Melintaslah ingatannya tentang rumah di dalamnya. Dulu ia pernah bermain di rumah itu sampai larut malam.

Itulah rumah Ina, salah satu teman masa remaja yang rumahnya berselang empat rumah dari sebelah kanan rumahnya sendiri.

Malam itu, saat sedang asyik bersama Ina, suara ayahnya terdengar memanggil di balik pagar. Mama Ina membukakan pagar. Segera Mama Ina menyilakan ayahnya masuk dan menunggu. Diintipnya mereka berdua yang sedang mengobrol akrab dari balik pintu kamar Ina yang dibukanya sedikit.

“Sora, ayo nonton lagi. Tutup pintunya,” Ina menarik tangannya sembari menutup pintu. Blam!
Mereka sedang menonton Fingersmith.

“Suaranya terlalu besar,” ia menatap Ina dengan wajah waswas.

“It is okay.”

“Ayahku di luar.”

“Iya, sama mamaku.”
***
DI rumah banyak orang berwajah sembab. Orang-orang sibuk lalu-lalang membagikan minuman kemasan kepada orang lain yang baru selesai membaca doa-doa. Ia duduk di samping ayahnya. Sesekali tersenggol-senggol orang yang mencoba menarik ayahnya yang terus menciumi pipi pucat nan dingin istrinya.

Kakek nenek tidak datang. Ayah marah-marah ketika ditanya mengapa mereka tidak datang. Satu pun tidak datang.

Ibu dimakamkan di pemakaman dekat rumah. Sekitar beberapa ratus meter dari rumah.
***
IA terbangun tubuhnya telanjang dan berkeringat. Ia pindah ke ruang mengetik. Dinaikkannya suhu pendingin ruangan menjadi 20 derajat. Berjalanlah ia mengelilingi ruangan tersebut sambil membaca sisi-sisi buku yang menjadi dinding dalam. Milan Kundera. Gustave Flaubert. Leo Tolstoy. Gumamnya.

Lihat juga...