Lintang Waluku

CERPEN EKO SETYAWAN

Jadi perasaanku sedikit canggung ketika kami hanya duduk berdua. Biasanya ada ibu yang selalu berbicara banyak dan kami hanya mengangguk dan menjawab seperlunya.

Tapi kini aku hanya berdua saja dengan Mas Jatmika. Sebenarnya hal ini tak pernah menjadi masalah. Namun aku begitu tak enak jika berdua saja. Tidak seperti biasanya ketika ada ibu. Apalagi kami sudah cukup lama tidak berjumpa.

“Itu yang baru saja akan kutanyakan padamu, Lintang,” sahut Mas Jatmika. “Aku tadi sedang di rumah dan ketika akan keluar, aku melihatmu dari jendela berjalan ke arah sini. Lalu aku tanya ke ibumu. Kamu ke mana. Beliau menjawab tidak tahu, sehingga kuputuskan untuk mencarimu ke arah sini,” tambahnya.

“Iya, Mas. Aku kangen sama bapak. Aku mengingat sesuatu tentang bapak dan membuatku gelisah,” Aku menjelaskan pada Mas Jatmika.

“Boleh aku menebak penyebab kegelisahanmu?” sahutnya cepat disertai candaan.

“Apa?”

“Perihal lintang waluku?”

Seketika jantungku berdetak kencang. Aku seperti sedang melayang dan tubuhku terbawa entah bermuara ke mana. Bagaimana mungkin Mas Jatmika mengetahui apa yang sedang kupikirkan?

Bagaimana mungkin ia memahami apa yang menjadi kegelisahanku? Bagaimana mungkin?

“Bapakmu sering mengatakan padaku tentang keinginannya mengajakmu untuk melihat lintang waluku ketika musim tanam tiba. Tapi hal itu diurungkan karena bapak merasa bahwa kamu masih terlalu kecil saat itu.

Bapak tak mungkin mengajak anak perempuannya keluar pada dini hari bahkan pada saat menjelang Subuh untuk mencari air. Bapak menceritakan semuanya ketika aku diajak menemaninya mencari air saat musim tanam. Sehingga bapak sering memberitahuku tentang lintang waluku dan seluruh keinginannya.” Mas Jatmika menjelaskan tanpa kuminta.

Lihat juga...