BINTANG berekor kekuningan melaju menerabas bintang-bintang yang lain di tengah kegelapan malam. Geraknya segaris lurus dengan arah angin yang membelai rambutku dari utara menuju selatan.
Lantas lindap di balik bukit yang memancarkan cahaya terang di punggungnya. Seperti halnya pentas di panggung pertunjukan yang belum lama mulai di lapangan kampung.
Bukit itu seperti bentangan layar panggung yang belum disingkap. Cahaya di baliknya masih malu-malu menampakkan diri sehingga hanya hadir sebagai siluet.
Tetapi lambat laun, sesaat setelah beberapa waktu di tempat ini, bulan hadir dengan sangat percaya diri. Ia menampakkan dirinya penuh dan seolah ingin menunjukkan padaku bahwa ia sedang sangat bahagia.
Layar panggung yang semula masih menyelimuti seolah terangkat dan siluet yang ada merupa menjadi cahaya sorot lampu panggung yang begitu meriah.
Aku duduk menghadap langit. Meninggalkan keriuhan di lapangan kampung dan memilih menyendiri di gubuk timur kampungku ini. Jaraknya tak seberapa dari kampung.
Masih terlihat jelas nyala lampu rumah paling ujung. Ada lalu-lalang manusia yang tak lain adalah tetangga desa. Mereka tak mau ketinggalan dengan pertunjukan yang hanya setahun sekali digelar itu.
Sesekali mereka menyapa lantas menanyaiku dengan rasa ingin tahu yang sama: sedang apa kau di sini?
“Mencari angin, di sana terlalu sesak.” Begitulah jawabku pada pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.
Namun mereka seperti keberatan atas jawaban yang kulontarkan atas pertanyaan mereka. Kupikir itu adalah hal yang pantas kumaklumi karena memang tak wajar seorang perempuan yang masih segar dan muda sepertiku sendirian di tempat ini pada malam hari.