Setelah memahaminya, aku jadi lebih sering datang ketika ada pertunjukan wayang termasuk ketika sedekah bumi berlangsung. Baik sedang berlangsung di kampungku maupun di kampung tetangga.
Sewaktu kecil― jika ada pementasan wayang di kampung sebelah― bapak selalu menggendongku di punggungnya. Bagiku pundak bapak adalah tanah lapang yang menampung segala hal tentangku.
Bahkan sesekali aku tak segan minta diangkat dan digendong di pundaknya. Mirip seseorang yang akan mencapai tempat yang tinggi.
Namun segalanya berlalu seiring kepergian bapak. Padahal aku masih menyimpan banyak keinginan bersama bapak dan belum terpenuhi. Salah satu yang sering dikatakan oleh bapak adalah mengenai lintang waluku.
Bapak sering mengatakannya dan berjanji akan mengajakku melihatnya. Aku mengiyakan dan tak memprotes lebih.
Tapi satu hal yang kusesali saat ini adalah keinginan menyaksikan lintang waluku bersama bapak belum terpenuhi. Lintang waluku adalah saat di mana bintang membentuk satu kesatuan yang padu seolah memiliki garis terdiri atas tiga bintang berderet dan dikelilingi empat bintang yang lain.
Aku tidak tahu persis seperti apa bentuknya. Namun bapak menjelaskan yang demikian.
Bukan hanya bentuk formasi bintangnya saja menarik hatiku, melaikan hal itu terjadi hanya pada sepasar saja menjelang musim tanam. Selain itu, formasi ini hanya akan terlihat pada waktu beberapa saat menjelang azan Subuh bergema di langit.
Aku menantikan saat di mana aku dan bapak bisa duduk berdua dan menatap lintang waluku. Hingga pada akhirnya hal itulah yang menjadi alasanku untuk masuk kuliah di jurusan pertanian.
Aku masih termenung di tempat ini dan suara punakawan mulai kudengar semakin keras. Suara dalang menggema karena jam sudah berubah dan mengganti hari yang baru. Tidak terasa aku sudah terlalu lama di sini dan memikirkan bapak yang telah tiada.