Kuharap apa yang kulakukan bukanlah kesalahan dan sampai sekarang aku bersyukur karena masih baik-baik saja di sini. Lalu-lalang tetangga kampung masih saja ada. Hilir mudik saling datang dan pergi ke kampungku. Jadi tidak ada alasan aku takut ada di sini sendiri. Bahkan aku cukup menyukainya.
Namun tiba-tiba kurasakan angin yang merambat pada sekujur tubuh. Selembar daun jatuh menimpa kepalaku dan luruh ke punggungku. Aku mengusapnya dan terkaget ketika kurasakan sebuah tangan yang menyentuh punggungku bersamaan dengan ayunan tanganku.
Aku terlonjak ke depan. Dadaku berdegup dan kubalikkan tubuhku.
“Ini aku,” Mas Jatmika menenangkanku.
“Ah, hampir saja jantungku copot, Mas.”
“Maafkan aku, Lintang. Aku hanya membantu membersihkan daun di punggungmu,” kata Mas Jatmika lantas duduk dan aku kembali ke tempatku.
Mas Jatmika adalah orang yang telah menggantikan peran bapak selama ini. Ia membantu banyak hal padaku dan juga pada ibu. Ketika aku kuliah, dialah yang menemami ibu dan selalu menjadi perantara ibu untuk menemuiku.
Bagiku, Mas Jatmika tak ubahnya seperti kakak yang begitu menyayangi adiknya. Ia juga yang sering dimintai tolong oleh bapak sewaktu masih hidup. Seperti seorang bapak dan anaknya sendiri.
Meskipun memang Mas Jatmika hanya tetanggaku yang rumahnya hanya sekitar lima puluh langkah ke arah matahari terbit. Tapi bapak memercayainya sehingga hubungan bapak dan Mas Jatmika begitu dekat.
“Sedang apa kau di sini, Mas?” tanyaku mencairkan keadaan.
Aku sudah lama sekali tidak bersua dengan Mas Jatmika semenjak kuliahku masuk masa yang menegangkan yakni aku harus menyusun tugas akhir. Hampir empat bulan aku tak pulang dan tak menemui ibu juga Mas Jatmika.