“Apa kau tidak takut digondol makhluk halus wewe gombel?” teriak mereka yang kupahami sebagai racauan untuk bercanda sembari berjalan menjauh menuju kampung.
“Mereka yang takut padaku!” timpalku dengan tujuan yang sama agar mereka terkekeh.
Setelah mereka menjauh, aku kembali memandang hamparan sawah dan bukit yang terbentang di depanku. Ini bulan Apit, bulan di mana orang-orang di kampung memanen kedelai.
Meskipun bulan Apit begitu kering dan panas pada siang hari, namun orang-orang tetap bisa memanen kedelai karena memang kedelai akan tumbuh dan berbiji ketika tidak turun hujan. Jika hujan, malah bisa jadi kedelai akan berguguran dan tak bisa dipanen.
Di lapangan tengah kampung ada pertunjukan wayang dalam rangka sedekah bumi. Hal itu sudah dilaksanakan sejak puluhan tahun yang lalu bahkan sejak sebelum aku lahir. Bapak yang menceritakannya padaku.
“Kampung kita ramai sekali. Ada apa, Pak?” tanyaku entah di usia berapa. Ingatanku pada saat ini tak mampu mencapai kapan saat itu aku bertanya. Tapi aku ingat jawaban bapak.
Lantas bapak menjelaskan bahwa sedang diadakan sedekah bumi dan kenapa ada pementasan wayang adalah sebagai perantara untuk mengingat Allah yang telah memberi segala rezeki pada warga kampung.
“Wayang adalah cara paling sederhana mengingat Gusti Allah, Cah Ayu. Gusti Allah yang selalu memberi kita rezeki yang cukup.”
Aku tak mengerti maksudnya pada saat itu, tapi setelah menginjak dewasa aku mulai memahaminya. Aku tahu dari kisah Mbah Nyai yang mengajariku mengaji bersama teman-teman yang lain.
“Kanjeng Sunan Kalijaga menyebarkan ajaran Islam dengan media wayang. Sehingga dakwah menjadi begitu dekat dan sampai di hati masyarakat,” Mbah Nyai menjelaskan.