“Hancurkan.”
Orang-orang itu kemudian melempar dan merusak semua yang mereka temukan. Semuanya tidak tersisa. Hanya ada sosok Anjani yang terkulai lemas di sudut warung.
***
MALAM itu suami Anjani pulang sebagaimana ia janjikan lewat telepon. Malam itu Anjani merasakan pelabuhan bagi kapal jiwanya yang remuk redam.
Kapal yang terombang ambing dan buritan yang mulai pecah membuatnya merasa aman menemukan daratan. Tidak banyak kata-kata untuk membuat jiwa Anjani kembali tenang.
Sebidang dada tempat beban baginya bersandar telah membuatnya tenang dan mampu kembali perlahan menata puzzle kehidupannya yang porak poranda.
Rasanya hidup dalam dekapan suami adalah kebahagian yang tidak bisa Anjani lukiskan. Sosok laki-laki seperti suaminyalah yang kini mampu memberikan kedamaian dan ketenangan. Hingga belaian suami Anjani membuatnya perlahan menuntun menuju alam yang dirindukan.
Anjani seakan telah menuju impiannya. Anjani menyaksikan keindahan masa kecil ketika berlari-lari di sepanjang pantai untuk mengejar bayangan indah matahari pagi.
Namun ketika matahari pagi benar-benar merekah, sinar sang surya terasa mulai menghangatkan wajah Anjani. Anjani tersadar dari mimpi, dari tidur. Anjani terbangun namun tidak mendapatkan sosok belahan jiwanya. Namun, ia sejenak menemukan secarik kertas di atas bantal suaminya.
Anjani, sayangku. Mohon maaf pagi sekali, Mas harus pamit kerja kembali. Ada banyak desas-desus yang kini mengancam ibu kota. Desas-desus yang belum tentu benar. Mas harus meliput secara berimbang agar tidak ada lagi korban dari tuduhan keji orang-orang yang tidak bertanggung jawab.