Kelezetan warung Anjani pun menyebar menular demikian cepat pada orang-orang di sekitar warung atau pun orang- orang jauh yang kebetulan mampir dari perjalanan. Pesan yang berkembang dari mulut ke mulut sepertinya tak bisa ditandingi oleh segala bujuk rayu iklan.
Tampaknya keberadaan warung Anjani bertambah minggu dan bulan menjadi ancaman bagi warung lain. Ada orang-orang yang tidak ingin warung Anjani menjadi besar dan telah menjadi monster menakutkan bagi mereka.
Orang-orang ini pun melampiaskan rasa dengki dan iri. Mereka menyewa orang-orang khusus yang ditugaskan untuk membagikan pengalaman buruk makan di warung Anjani.
Orang-orang ini pura-pura makan di warung lalu membuat ulah dengan memasukkan kecoa atau lalat dalam piringnya. Orang-orang yang sedang makan pun segera pergi dengan berbagai umpatan dan menggebrak meja.
“Dasar kotor.”
”Menjijikkan.”
Ulah orang-orang ini ternyata tidak sebatas itu. Mereka merencanakan tuduhan yang lebih keji. Mereka menuduh, warung Anjani memakai pesugihan. Mereka mengatur siasat bagaimana tuduhan bisa dipercaya.
Mereka menjalankan aksi ketika warung Anjani sedang ramai oleh pengunjung. Beberapa orang saling berbagi tugas untuk memuluskan rencana jahat.
“Ini apa. Astaghfirullah hal adzim. Ini celana dalam kok ada dalam panci sayur!“ teriak salah seorang yang mulai memancing keributan.
“Wah itu tanda pesugihan. Pantas itulah yang membuat masakan warung laknat ini kelihatan lezat.”
“Kemarin waktu saya bawa pulang masakannya menjadi tidak enak.”
“Pantas kemarin istri saya bawa anak kecil makan di warung ini menangis terus.”
“Kurang ajar.”
“Bakar bakar.”