Yuli, Srikandi Disabilitas Lanjutkan Program Presiden Soeharto
Editor: Koko Triarko
Ia mengaku hanya bisa memberdayakan masyarakat, sebagai penyandang cacat dan miskin, ia mengerti, bahwa miskin di zaman dulu, di era Presiden Soeharto, dan miskin di zaman sekarang sangat berbeda.
Perbedaannya, sebut dia, bahwa dulu biar miskin masih bisa bergerak. Hal tersebut karena Pak Harto memiliki program yang memudahkan orang miskin untuk berjalan.
“Kalau sekarang itu program benar-benar tidak berpihak kepada orang miskin,” tegasnya.
Yuli mencontohkan, soal insfrastruktur, sudah keliling setiap hari ke pelosok.
“Kata siapa sih, infrastruktur itu bagus? Contohnya kemarin saya pulang kampung bertahun-tahun, tidak pernah lewat-lewat Semarang, tetapi jalannya sampai Gresik hancur rusak parah. Padahal, itu jalan nasional,” tandasnya.
Menurutnya, yang dimajukan sekarang adalah jalan tol, tetapi itu berbayar untuk lewat jalan tol bisa dari Jakarta ke Malang, harus merogoh kocek lebih dari Rp500 ribu, lalu untuk rakyat kecil di mana?
Hal lain jika dari daerah terus ingin berjualan ke Jakarta, terus lewat jalan tol dan membayar dengan tarif mahal, tentu harga akan naik. Sementara lewat jalan gratis, rusak parah, rawan kecelakaan.
Ia menilai, program sekarang belum menjadikan kesejahteraan teratasi. Infrastruktur dibangun, warga masyarakat tidak punya penghasilan, mau memasarkan susah, dikasih pelatihan-pelatihan tidak nyambung.
Hal tersebut, katanya, menjadi salah satu landasannya untuk berjuang, contoh sepele, adalah penyandang cacat yang tidak sekolah, penyandang cacat yang kaya dan miskin banyak sekali miskin, yang pintar dan bodoh banyak yang bodoh.
“Nah, ketika diberi pelatihan oleh Dinsos, seperti pelatihan Komputer, disabilitas ini, diam ikut pelatihan, setelah itu pulang di kasih Komputer, dia tidak mengerti, maka komputer dijual,”ucapnya.