Guru yang Jujur

CERPEN GUSTI TRISNO

TAHUN ajaran baru sudah dimulai. Madin menahan haru ketika melihat bocah-bocah menyalami orang tuanya sebelum pamit ke sekolah. Ia terkenang saat-saat seperti itu semasa kecil. Saat bapak pertama kali mengantar ke sekolah. Ibu yang menyiapkan bekal.

Lalu, sesuai permintaan bapak ingin ia masuk kuliah keguruan. Maka, Madin mengubah cita-cita dari seorang teknisi kimia menjadi guru. Perkuliahannya pun tak begitu banyak godaan. Madin juga tak pernah neko-neko (macam-macam), selalu lancar. Pun, ketika lulus, ada banyak sekolah yang memintanya. Salah satu sekolah itu, ada yang berasrama tak jauh dari kampusnya.

Banyak pertimbangan yang Madin pilih sebelum mengambil keputusan. Hingga ia menolak tiga tawaran sekolah lain padahal satu kota dengannya. Ia memilih sekolah dengan catatan diberikan fasilitas asrama. Karena ketua yayasannya tahu kapabiltas Madin saat kuliah, tentu syarat itu langsung tergapai.

Madin pun enak dalam mengajar. Pembawaannya santai, bisa membuat murid-muridnya yang anak SMA menyerap rumus-rumus kimia dengan mudah. Apalagi, ia tidak begitu formal dalam mengajar. Bahkan kadang memanggil muridnya dengan sebutan kekinian seperti: say, bro, sis, coy, boy, dan sederet panggilan lain.

Soal penampilan, ia bisa dibilang trendi. Maka murid-murid benar-benar menyanyanginya. Hal itu yang disyukuri oleh Madin.

“Terus kenapa kamu berhenti?” tanya seorang tetangga yang baru saja disalami anaknya ketika hendak berangkat ke sekolah.

Madin mengambil napas panjang.

Rasa sakit yang diderita bapak menjadi alasan utama. Setelah itu, ada alasan lain yang tidak patut diceritakan. Maka, Madin hanya bisa menjawab tentang rasa sakit bapak dan ingin dekat dengan keluarga.

Lihat juga...