Sejak kutahu uang begitu berharga, aku mengganti pola makan. Dalam sehari aku hanya makan dua kali. Pagi hari sebelum pergi memulung dan sore hari setelah pulang memulung. Itu pun aku mengganti makanannya. Aku terbiasa makan dengan nasi dengan lauk tempe atau tahu, ditambah kecap manis.
Miskin. Memang aku miskin. Bapak pernah berkata, kemiskinan adalah takdir seorang pemulung. Hidup serba kekurangan dan berhemat. Bapak selalu menasihatiku untuk tidak berkecil hati. Buktinya walaupun Bapak dan Ibu seorang pemulung, mereka dapat membesarkanku dengan baik.
Aku pun tidak masalah hidup miskin. Bahkan dulu aku tidak tahu apa itu miskin. Aku tidak merasa aku hidup miskin. Aku sudah terbiasa hidup seperti ini, serba kekurangan. Seperti kata Bapak, itulah takdir seorang pemulung.
Rumah yang aku bangun memang sederhana. Luasnya sama seperti rumah Bapak dan Ibu. Sengaja aku beri sekat pemisah. Untuk kamar dan dapur.
Setelah rumah yang aku bangun selesai, kini giliran mencari pendamping hidup. Kata Bapak, lelaki dikatakan sejati jika sudah hidup mandiri dan berkeluarga. Aku bukannya tidak pernah merasakan cinta. Bahkan aku sudah punya incaran. Dia gadis sepermainanku sejak kecil. Dia juga berasal dari keluarga pemulung.
Aku mencintainya karena dia memiliki kemiripan yang sama denganku. Dia juga membenci sekolah. Beruntungnya aku karena dia juga menaruh hati padaku. Mungkin kebersamaan kami yang selalu bertemu kala memulung, membuat dia terbiasa denganku. Aku langsung meminangnya. Dengan mahar semampuku.
Hidup baru aku jalani bersama isteriku. Tapi keseharian kami tetap sama. Setiap hari memulung bersama. Aku meminta isteriku berhenti memulung kala dia hamil. Aku tidak ingin isteriku lelah bekerja.