“Guntur, siapa mereka?” tanyaku pada kawanku yang paling tua.
“Anak-anak sekolah.”
“Anak sekolah? Apa itu?”
“Kau tidak tahu? Bapakmu tidak pernah cerita?”
“Tidak. Kau tahu apa itu anak sekolah?”
“Kata Bapakku mereka anak yang belajar di sekolah.”
“Belajar? Seperti belajar mengaji seperti yang Bapak ajarkan kepadaku?”
“Hmmm… beda.”
“Apanya yang beda?”
Guntur memutar bola matanya. “Enggak tahu. Bapakku juga bilang begitu. Kau tanyakan saja pada Bapakmu.”
“Oh begitu. Baiklah, nanti aku tanyakan pada Bapakku.”
Hari ini kami bermain sepak bola seperti biasanya. Malam harinya, setelah selesai mengaji, aku bertanya perihal sekolah pada Bapak.
“Sekolah? Kenapa Tohirin tiba-tiba menanyakannya?”
“Tohirin penasaran saja. Bapak tahu apa itu sekolah?”
Bapak menghela napas panjang. “Tohirin, sekolah itu tempat yang buruk. Di sana, anak-anak yang sekolah, nantinya hanya akan menjadi orang-orang yang mencuri. Tohirin jangan pernah sekali-kali dekat pada anak sekolah. Mengerti?”
“Tapi kenapa? Mereka kelihatan anak baik-baik.”
“Tidak. Itu hanya dari luarnya saja. Tohirin masih ingat cerita Bapak kemarin kan?”
Aku mengangguk. Aku masih mengingat jelas Bapak mengeluh tentang orang-orang kaya yang mencuri.
“Nah, orang-orang itu dulu sekolah. Lihatlah hasil dari sekolah. Dari sana tercipta orang-orang yang korupsi dan maling. Kau tidak boleh mendekati mereka. Jauhi sekolah!” seru Bapak berapi-api.
Aku percaya dengan perkataan Bapak. Mulai hari ini, rasa benci pada sekolah bertumbuhan di benak dan hatiku. Aku benci dengan sekolah. Sama seperti Bapak yang membencinya.
Kehidupanku terus berjalan. Hingga aku berusia lima belas tahun, aku bosan untuk bermain.