Kado Pahit Nelayan Teluk Jakarta
OLEH MUHAMAD KARIM
Jadi, ada konflik kelembagaan di sini. Pergub No 58/2018 bertolak belakang dengan Perpres 54/2018 yang juga merujuk UU No 27/2007 dan perubahannya No 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K) serta UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang maupun UU No 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya.
Sikap pemerintah DKI Jakarta ini terkesan “ambigu” karena di satu sisi hendak menghentikan reklamasi tapi di sisi lain masih merujuk Kepres 52/1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta. Jika dicermati, pembentukan BKP Reklamasi Pantura Jakarta secara “substansi” sesungguhnya membiarkan reklamasi berlanjut tanpa menghentikannya.
Jika merujuk UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, dalam pasal 27 disebutkan bahwa: (1) Daerah provinsi diberi kewenangan untuk mengelola sumber daya alam di laut yang ada di wilayahnya; (2) Kewenangan Daerah provinsi untuk mengelola sumberdaya alam di laut meliputi: (a) eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut di luar minyak dan gas bumi; (b) pengaturan administratif, (c) pengaturan tata ruang; (d) ikut serta dalam memelihara keamanan di laut, dan (e) ikut serta dalam mempertahankan kedaulatan negara.
(3) Kewenangan daerah provinsi untuk mengelola sumber daya alam di laut paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.
Merujuk UU ini Pemda DKI Jakarta memiliki kewenangan mengelola dan memanfaatkan sumber daya kelautannya sejauh 12 mil laut. Namun, kebijakan yang diambil tidak bisa bertolak belakang dengan ketentuan yang sedang berlaku apalagi merujuk aturan yang sudah dibatalkan.