Ancaman Industri Perikanan

OLEH MUHAMAD KARIM

Muhamad Karim. Foto: Dokumentasi Pribadi

Apakah ada kaitannya dengan kebijakan pemberantasan illegal, unreported, and unregulated fishing (IUUF) yang massif diberlakukan di Indonesia sejak tahun 2014? Pasalnya, negara-negara pelaku IUUF semacam Tiongkok, Vietnam, Thailand, dan Filipina tidak lagi berani masuk perairan Indonesia.

Mungkinkah tindakan eksportir Tiongkok ini sebagai aksi tindakan balasan penenggelaman kapal-kapal ilegalnya yang mencuri ikan di perairan Indonesia? Pandangan semacam ini wajar dalam konteks politik persaingan bisnis yang berpotensi memojokkan posisi Indonesia di pasar internasional.

Dalam perdagangan internasional jaminan kualitas produk pangan khususnya ikan telah menjadi indikator yang dipersyaratkan negara–negara maju, semacam Uni Eropa, Amerika Serikat, Tiongkok dan Jepang.

Mereka memberlakukan hambatan non-tarif (terutama terkait isu lingkungan) terhadap segala macam produk perikanan yang masuk ke negaranya baik dalam bentuk segar (fresh), beku (frozen) maupun olahan. Bagi negara maju pemberlakuan ini sebagai bentuk politik bisnis dalam perdagangan internasional untuk melindungi pembudidaya ikan dan nelayannya hingga produknya.

Imbasnya, negara–negara eksportir ke negara maju kerap kali mengalami tindakan yang tidak adil dalam bisnis perikanan. Apalagi negara berkembang tidak memiliki instrumen hambatan non-tarif terutama yang terkait isu lingkungan. Ketidakadilan itu bentuknya penolakan dan embargo ikan serta produk perikanan. Indonesia pernah mengalami hal ini tatkala mengekspor ke Eropa dan Amerika Serikat.

Tahun 2005, ikan dan produk perikanan Indonesia dikenai embargo masuk ke Eropa karena (i) udang mengandung antibiotik berupa cloramphenical dan nitrofuran serta bakteri vibrio parahaemolyticus; (ii) tuna dan marlin mengandung timbal (logam berat); (iii) tuna mengandung histamine dan karbon; (iv) ikan bandeng dan catfish mengandung malachite green.

Lihat juga...