Kesan dan Kedekatan Sudharmono dengan Presiden Soeharto
Editor: Irvan Syafari
Dasar alasan Pak Harto tidak berkenan menerima gelar itu adalah bahwa menyandang gelar itu bukan saja kehormatan, tetapi juga tanggung jawab. Beliau merasa belum siap untuk mempertanggungjawabkan gelar yang akan disampaikan itu.
Menurut Pak Harto, menyandang gelar itu malahan akan memberatkan beliau, padahal beliau masih harus mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas pembangunan sebagai amanat rakyat. Waktu itu sedang dalam pelaksanaan Pelita II.
Universitas Gadjah Mada, melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, juga terus-menerus menyampaikan permintaan agar Pak Harto berkenan menerima gelar Doktor HC dari universitas yang bersejarah itu. Tetapi tampaknya Pak Harto masih tetap belum berkenan.
Sikap yang sejajar juga beliau tampilkan, ketika menjelang Sidang Umum MPR 1983 fraksi-fraksi di MPR menyuarakan keinginan mereka guna mengukuhkan aspirasi rakyat untuk memberikan gelar Bapak Pembangunan.
Pada prinsipnya Pak Harto menilai tidak perlu ada pemberian gelar atau sebutan semacam itu, karena apa yang beliau lakukan dan hasilkan dalam pembangunan nasional ini adalah semata-mata pelaksanaan amanat rakyat.
Namun karena masalah ini adalah berkaitan dengan aspirasi rakyat dan produk lembaga tertinggi negara, MPR, maka beliau menyerahkan hal itu kepada para wakil rakyat di MPR. Akhirnya Ketetapan MPR tentang sebutan Bapak Pembangunan itu disatukan dengan Ketetapan MPR mengenai penerimaan pertanggungjawaban Presiden/ Mandataris.
Sudharmono berharap uraian sekelumit kesan yang ia tulis ini dapat menjadi tambahan pengetahuan yang bermanfaat mengenai seorang tokoh pemimpin bangsa-seorang tokoh pembuat sejarah, Bapak Pembangunan Indonesia yang telah melaksanakan tugas kepercayaan rakyat dengan segala kemampuan, tenaga dan pikirannya dan berusaha membawanya ke arah kemajuan dan hari depan yang lebih cerah.