Senja di Osmangazi

CERPEN BERNANDO J. SUJIBTO

Ilustrasi Helmi Fuadi

“Dari mana mendengar kabar itu, Nak?” tanya Oğuz sejurus kemudian.

“Cerita nenek begitu saat kami menonton televisi.”

Rakyat Turki tidak akan pernah mengetahui nama pilot atau nama-nama pasukan lain yang sedang melaksanakan misi khusus negara. İtu kebijakan mutlak dalam militer Turki yang harus dirahasiakan. Tetapi di suatu waktu nanti, ketika Kaan sudah dewasa, Oğuz pasti akan menceritakannya sendiri kisah heroik itu; detik-detik ketegangan—antara perintah dari Komando Dekat di Adana dan intervensi dari Komando Pusat di Ankara—ketika tombol rudal pesawat F-16 sudah siap ditekan dalam sepersekian detik; atau saat ketika rudal menghantam sasaran dan pesawat itu hancur terbakar.

Suatu saat nanti, dengan menceritakan kisah itu, Oğuz ingin menghadirkan sendiri emosi, bahkan ekstasi, untuk membela nagara. Dengan begitu, jiwa patriotis dalam diri Kaan akan terus menyala dan siap membela negara hingga titik darah terakhir.

Matahari sore sudah mulai merangkak menuju peraduannya. Tetapi Kaan dan anak-anak yang bermain di sana belum menunjukkan tanda-tanda lelah. Mereka masih bermain saling melempar kepalan bola salju, tubuhnya berguling-guling di atas tumpukan salju, dan teriakan riang pecah di antara bibir yang menggigil. Suara mereka yang penuh gembira membawa Oğuz terbekap dalam kenangan masa kanak-kanak, menyusun kembali perca-perca masa kecilnya di taman itu, dan sekaligus mengenang kisah cinta pertamanya bersama Hatice. Semua berkelebat begitu saja seperti kelewar menuju kegelapan.

Sebelum langit benar-benar gelap, Oğuz dan Kaan akhirnya pulang. Di tengah jalan, Oğuz melihat segelintir orang yang sepertinya ingin menyapa dirinya. Oğuz melempar senyum datar. Mungkin saja mereka teman-teman dari masa kecil yang tidak bisa dikenali secara jelas di tengah cahaya remang yang semakin mengaburkan jarak pandang.

Lihat juga...