Senja di Osmangazi
CERPEN BERNANDO J. SUJIBTO
Sore itu, Selim, Talha dan Derin tidak datang mengantar anak-anak mereka ke taman. Oğuz mendadak tenggelam dalam suasana masa kanak-kanaknya.
“Ayah tidak mau main kar topu?” teriak Kaan dari jauh. Suaranya beradu dengan jerit pesawat yang melintas di atas mereka.
“Lanjutkan, Nak. Ayah di sini,” balas Oğuz.
Wajahnya lalu mendongak melihat pesawat yang baru saja melesat cepat. Dari bunyinya, Oğuz yakin pesawat itu sejenis F-16 yang tengah melakukan patroli di kawasan langit Marmara. İa mempunyai pengalaman menjadi pilot angkatan udara selama tujuh tahun di pasukan khusus Angkatan Udara Turki. Kenangan terbaik yang telah menjadi kebanggaan memakai pesawat tempur supercanggih itu adalah ketika ia menembakkan roket dan menghantam pesawat Su-24 milik Rusia di perbatasan Suriah-Turki.
Oğuz sangat senang ketika melihat rakyat Turki serentak bersorak bangga atas keberanian tentara Turki menembak jatuh pesawat tempur milik negara kuat seperti Rusia.
Entah mendapatkan kabar dari mana, suatu waktu Kaan menceritakan insiden tersebut dengan bangga di depan dirinya. Oğuz melihat wajah Kaan berbinar penuh kebanggaan, tapi ia hanya menimpali sekadarnya pertanyaan dan cerita-cerita yang sedang dipaparkan anaknya. “Mereka yang mengganggu negara kami harus ditembak! Betul, kan Ayah?” tanya Kaan waktu itu, sekitar lima bulan yang lalu.
“Mengganggu bagaimana?”
“Itu seperti pesawat Rusia.”
“Betul. Setiap negara harus mentaati aturan negara lain.”
“Coba kalau Ayah yang menembaknya, betapa bangganya Kaan.”
Oğuz tersedak mendengar kalimat terakhir yang terlontar dari mulut Kaan sembari menatap tajam anak semata wayang itu. Pada mata itu terpancar akar nasionalisme yang akan tumbuh menjadi rimbun kelak, untuk bangsa dan negara Turki.