Senja di Osmangazi
CERPEN BERNANDO J. SUJIBTO
Begitulah pendirian Mary Arabyan alias Nulifer Atay sampai hari ini.
“Ibu, kami sudah siap berangkat ke Taman Gençlik,” pamit Oğuz setelah menyantap ciğer sarması.
Suara itu membuyarkan lamunannya. Sang ibu mengangguk pelan. Tapi pikirannya masih berkecamuk.
Sementara Kaan seperti biasa akan berpamitan dengan bersalaman dan mencium pipi sang nenek —kebiasaan Oğuz kecil ketika mau pergi bermain. Semua perlengkapan musim dingin sudah siap dan sebagian yang lain dimasukkan ke dalam tas gendong yang dibawa Oğuz. Meskipun masih bisa bermain kayak di arena curam sekalipun, Oğuz memilih untuk tidak melakukannya setelah tulang paha kanannya patah. İa bermain kayak di medan landai yang tidak akan mengancam nyawanya.
Sembari menatap anak dan cucunya keluar bermain, Nulifer Atay tersenyum lega karena rasa bahagia yang membelai mereka. Di mata sang ibu, ketika musim dingin datang, Oğuz tetap saja seperti anak kecil dan Kaan adalah pewaris sifat-sifat Oğuz seluruhnya. Setiap liburan musim salju, Oğuz kecil ataupun Kaan, tidak pernah bisa berlama-lama berdiam di dalam rumah. İa sejak kecil suka bermain kayak yang awalnya hanya bermain pelosotan di taman atau di bukit-bukit bertumpukan salju di sekitar tempat tinggal mereka di Osmangazi.
Setibanya di Taman Gençlik, Oğuz langsung pergi ke sebuah gazebo yang terletak di tengah-tengah taman. Di sana ia mengucapkan salam sebelum menundukkan kepala dan berdoa khusyuk, lalu duduk sekitar dua hingga empat menit menunggu sosok Hatice yang segera hadir menghampiri pelupuk matanya yang sembab. Aroma parfum bunga lavender mendadak sebak di sekitar gazebo, tempat pertama mereka bertemu 16 tahun silam. Sejurus kemudian Oğuz membuka mata lebar-lebar dan mendengar suara anak-anak bermain kardan adam (manusia salju), kar topu (bola salju) atau pelosotan di taman yang menyerupai punggung keledai itu.