Senja di Osmangazi

CERPEN BERNANDO J. SUJIBTO

Ilustrasi Helmi Fuadi

Di Bukit Telaş itu, jalan raya yang meliuk-liuk menaiki bukit ke arah Bursa, Oğuz bukan hanya merasakan sesosok Hatice yang hadir dalam remang kelopak matanya, tetapi juga mencium amis darah yang pernah bersimbah ruah di pahanya, saat-saat di mana istrinya menghembuskan nafas terakhir dalam sebuah tragedi naas. Setiap berkunjung ke Bukit Telaş, Oğuz akan duduk sebentar di kursi kayu pinggir jalan —tak jauh dari tempat istrinya meregang nyawa— sembari membisikkan doa dalam keadaan merunduk dan terpejam.

Lalu, ia menghampiri sebuah titik sisi kanan bahu jalan di mana Hatice untuk terakhir kali melihat dirinya.
Tabrakan maut yang menghantam mobil mereka telah menciptakan babak baru dalam hidup Oğuz: memutuskan pensiun dini dan sekaligus memilih untuk tidak menikah lagi. Patah tulang paha yang dideritanya tidak memungkinkan lagi untuk bekerja di militer. İa hanya menerima tawaran bekerja paruh waktu menjadi tenaga pendidik di sekolah angkatan udara di Istanbul sambil mengelola bisnis warung makan Lokanta yang dibangunnya bersama istri tercinta.

Sebelum tiba di rumah ibunya di Osmangazi, Oğuz sudah terpikir akan mengajak anak semata wayangnya Kaan Atay bermain salju di sore itu. İa ingin mengajaknya ke Taman Gençlik agar bisa bermain bersama anak-anak tetangga atau teman-teman sekolahnya. Sembari melihat Kaan bermain, Oşuz ingin kembali ke masa kanak-kanak, seperti usia Kaan hari itu; bertemu Selim, Talha atau Derin, tiga teman masa kecil yang menetap dan tinggal di kota kelahirannya.

Hari itu adalah hari kedua ara tatil, liburan semester musim dingin selama dua minggu. Oğuz pulang ke rumah ibunya dengan naik bus. Tepat dua jam yang lalu ia melewati Bukit Telaş dan seperti biasa (karena bus yang ditumpangi tak mungkin berhenti di sana) ia merapal doa dan menyebutkan nama Hatice. Setiap kali melewati bukit itu Oğuz menundukkan kepala dan menunggu sesosok Hatice melintas di pelupuk matanya. Peristiwa sepersekian detik itu menyuntikkan kebahagiaan dan rasa rindu yang tertebus —dengan mengenang luka dan amis darah sang istri dari dekat.

Lihat juga...