Senja di Osmangazi
CERPEN BERNANDO J. SUJIBTO
Sejak kecil Mary sudah terbiasa menyaksikan gejolak dan perubahan yang terjadi di lingkungan keluarga dan komunitas masyarakat yang hidup di lereng Uludağ. Biara-biara itu dari hari ke hari semakin sepi pengunjung dan sampai akhirnya benar-benar ditinggalkan, dibiarkan tanpa rawatan, atau diam-diam dirubuhkan dan semua barang berharga dicuri. Dua biara yang tersisa hari ini kemudian disulap menjadi museum.
Mereka yang memilih bertahan di sana harus rela mengubah semua identitas dirinya menjadi Turki-Islam. Bagi yang tidak ingin menggadaikan kepercayaannya, seperti keluarga Aleksandr Kosakyan dan Arsen Vardanyan, harus meninggalkan Turki di akhir tahun 1923 dan pergi menyeberang ke Yunani atau kembali ke tanah Armenia.
Namun, hati sang kakek sangat terluka dan hancur setiap mengenang peristiwa tahun 1915, sebuah tragedi pembantaian atas bangsa Armenia oleh pasukan Osmani menjelang Perang Dunia I.
Waktu itu usianya masih berkisar 10 tahun. Dia tidak pernah bercerita apakah dalih pembunuhan itu sebentuk genosida terhadap bangsa Armenia atau karena faktor perang. Daerah-daerah seperti Mardin, Diyarbakir dan Van berlumuran darah yang muncrat dari saudara sebangsanya. Mendengar cerita-cerita kelam seperti itu, Mary Arabyan terkadang ingin balas dendam tapi di waktu bersamaan rasa takutnya berlampau jauh. Tak ada cara selain menerima dan berdamai dengan sejarah kelam nenek moyangnya. Dia hanya ingin anak cucunya kelak —jika kemudian belajar sejarah tentang pembantaian yang mengerikan itu— juga berdamai dengan kebesaran hati, bahwa kejadian itu adalah kecelakaan sejarah. Dia tidak ingin lama-lama terkubang darah sejarah. Mary ingin menatap hari di masa depan yang cerah, atas nama bangsa dan agama apapun!