Patung Kepala Besar

Seperti siang itu, ia akan menemani Alex Hanafi pergi ke kota untuk belanja bahan-bahan yang diperlukan. Selama di kota semuanya berjalan lancar, hingga sebuah radio lokal menyiarkan berita mengenaskan malam itu: dalam waktu yang singkat, sebuah kampung nelayan telah disapu gelombang tsunami yang dahsyat.

Saat ia sampai kembali di kampungnya dini hari itu, ia tak bisa lagi menemukan rumahnya. Ia bahkan tak tahu bagaimana caranya agar bisa menemukan jasad bapak, ibu, dan kedua adik kembarnya yang ia cintai. Rupanya, siang saat ia pulang membawa replika ikan paus untuk adiknya itu, adalah hari terakhir ia bisa bertemu keluarganya.

Ia dirundung kehilangan yang paling menyedihkan selama bertahun-tahun. Lalu pada suatu hari, ia memutuskan untuk pergi dan memulai hidupnya di tempat yang baru sebagai pematung. Sejak kepergiannya, ia tak pernah sekalipun bertemu Alex Hanafi. Pertemuan terakhirnya adalah di kamp pengungsian ketika pematung itu nyaris menjadi gila karena kehilangan patung-patungnya.
***
SEMINGGU setelah ia dan kawan-kawannya memindahkan patung-patungnya di selat itu, sekelompok orang kembali mendatangi rumahnya. Mereka hendak memastikan apakah dirinya benar-benar telah mematuhi apa yang pernah dipaksakan oleh mereka. Saat itu ia tengah menyelesaikan proyek pribadinya yang sudah lama tertunda.

“Hai, sobat. Bagaimana dengan patung-patung kesayanganmu itu?” tanya seseorang.
Ia berhenti sejenak dari kesuntukannya. Diputarnya keran air yang ada di pojok halaman. Ia membasuh muka, membersihkan tangannya dan menyapa tamunya dengan tenang.

“Mari, Saudara-saudara, duduk dulu.”

Lihat juga...