Patung Kepala Besar

“Paus. Kamu benar ini ikan paus. Nah, sekarang ini jadi milikmu,” ujarnya seraya menyerahkan replika ikan paus dari batu itu.

Namun tak berapa lama, benda itu sudah berpindah ke tangan yang lainnya. Selanjutnya—seperti yang sudah-sudah— yang terjadi hanya kegaduhan. Kedua bocah itu berkejaran dan saling berebut, meninggalkan ibunya yang semakin cemas karena sudah dua minggu ayah mereka tak bisa melaut. Musim sedang tak baik, gelombang belum juga berkurang tingginya dan angin kencang nyaris sepanjang hari.

“Sudah, sudah… Setiap pulang, kamu hanya bikin gaduh saja. Sana, pergi ke temanmu yang tukang patung gila itu!”

Ia menatap ibunya sebentar. Tak tahu harus mengatakan apa, ia berlalu dari hadapan ibunya. Mendung semakin gelap dan rendah saat ia berjalan melewati tempat penampungan ikan, bangunan berdinding batako dan beratap seng yang digunakan sebagai sebuah kantor koperasi nelayan, lapangan bola yang sebagian tanahnya telah berfungsi sebagai kuburan umum.

Saat ia sampai di depan musala hujan mulai turun. Ia berlari-lari kecil menuju sebuah rumah di sudut kampung. Di rumah itulah, Alex Hanafi—seorang pematung dari utara—telah tinggal beberapa lama. Ia mengenalnya sejak kedatangan pertama laki-laki umur 40-an itu. Saat itu Alex Hanafi mencari sebuah rumah yang bisa disewa. Dalam perkenalan yang tak sengaja itu, ia berhasil menyambungkan Alex Hanafi dengan Tan Lie Sudjono, si pemilik rumah—saudagar ikan yang anaknya adalah teman sekelasnya di SMP.

Sejak saat itulah, ia sering berkunjung ke tempat praktik Alex Hanafi. Ia senang melihat tangan-tangan terampil pematung itu bekerja. Alex Hanafi telah menciptakan figur-figur yang datang dari kehidupan para nelayan. Setiap kali ia memandangi sosok-sosok ciptaan pematung itu, semakin tak terbendung keinginannya untuk belajar. Alex Hanafi menyambutnya dengan murah hati, dan menganggap dirinya sebagai teman kerjanya.

Lihat juga...