Pentingnya Ruang Publik yang Ramah bagi Penyandang Disabilitas Daksa

OLEH YUDA WIRA JAYA

Di usia 33 tahun, Sulistyo tak pernah menyangka bahwa hidupnya akan berubah drastis sejak kecelakaan yang dialaminya pada usia 19 tahun.

Sejak itu, ia menjalani hari-hari sebagai penyandang disabilitas daksa, bergantung pada kursi roda untuk mobilitas.

Namun, yang paling berat bukanlah duduk di atas kursi roda, melainkan berdiri sebagai warga negara di ruang publik yang belum sepenuhnya menyambut kehadirannya.

“Kadang saya merasa seperti bukan bagian dari kota ini,” tutur Sulistyo lirih. “Karena banyak tempat yang seolah bilang: ‘Ini bukan untukmu.’”

Daerah Istimewa Yogyakarta selama ini dikenal sebagai kota pelajar dan destinasi wisata utama di Indonesia. Di balik julukan itu, masih tersembunyi ironi bagi warganya yang menyandang disabilitas.

Menurut Sulistyo, upaya pemerintah untuk menghadirkan infrastruktur ramah difabel sebenarnya sudah mulai tampak di beberapa titik, terutama di pusat kota seperti Malioboro atau fasilitas umum seperti stasiun dan kantor pemerintahan.

Jalur landai, guiding block, dan toilet khusus mulai tersedia. Namun, langkah itu belum menjangkau banyak wilayah lain. “

Di luar pusat kota, kondisinya masih jauh dari ideal. Banyak trotoar yang tidak rata, dipenuhi motor atau pedagang.

Jalur landai pun kadang terlalu curam atau tidak ada sama sekali,” ujarnya.

Keterbatasan aksesibilitas bukan hanya menyulitkan secara fisik, tetapi juga memengaruhi psikologis dan partisipasi sosial penyandang disabilitas.

“Saya sering takut datang ke tempat baru. Takut nggak bisa masuk, takut nggak ada toilet, takut harus terus-terusan minta bantuan,” kata Sulistyo. “Padahal saya ingin mandiri, seperti orang lain.”

Lihat juga...