Pentingnya Ruang Publik yang Ramah bagi Penyandang Disabilitas Daksa
OLEH YUDA WIRA JAYA
Lebih dari itu, Sulistyo merasa keresahan yang ia alami adalah bentuk dari ketidaksetaraan.
Ketika fasilitas publik dibangun tanpa mempertimbangkan kebutuhan penyandang disabilitas, itu mencerminkan adanya kelompok masyarakat yang masih dikesampingkan.
Sulistyo mengakui bahwa pemerintah sudah punya sejumlah regulasi.
Salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, yang menegaskan bahwa: “Penyandang Disabilitas memiliki hak untuk mendapatkan aksesibilitas guna memanfaatkan fasilitas umum, tempat tinggal, transportasi publik, informasi, dan komunikasi, serta pelayanan publik lainnya.” — (Pasal 14, UU No. 8 Tahun 2016).
Namun, penerapan di lapangan belum konsisten. Banyak fasilitas publik yang tidak sesuai standar atau bahkan hanya disediakan sebagai formalitas.
“Kadang ada ramp, tapi curam banget. Kadang ada lift, tapi kecil dan tombolnya tinggi. Jadi seolah-olah dibuat cuma untuk formalitas, bukan karena benar-benar peduli,” ungkapnya.
Pasal lain dalam UU yang sama juga menyebut bahwa: “Pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya fasilitas aksesibilitas yang mudah, aman, dan nyaman bagi Penyandang Disabilitas.” — (Pasal 98, UU No. 8 Tahun 2016)
Sayangnya, menurut Sulistyo, banyak dari kewajiban ini belum diimplementasikan secara menyeluruh, terutama di daerah-daerah yang jauh dari pusat kota.
Meski banyak kendala, Sulistyo tidak kehilangan harapan.
Ia ingin Yogyakarta dan kota-kota lain di Indonesia menjadi ruang hidup yang inklusif, di mana setiap orang, dengan kondisi apapun, bisa bergerak, berkarya, dan dihormati.
“Saya nggak minta diperlakukan istimewa. Saya cuma ingin hak saya dihormati. Kalau infrastruktur dibuat ramah difabel, semua orang akan ikut diuntungkan, baik lansia, ibu hamil, bahkan turis,” katanya.