NU: Menuju Fase Ken Arok Style ?

Pada beberapa fase sejarah, mufaraqah dilakukan terhadap kebijakan politik negara, terhadap arah tertentu dalam organisasi, atau terhadap praktik yang dianggap menyimpang dari nilai keulamaan. Kiai memilih menjaga jarak, tidak terlibat, atau diam secara bermartabat. Penolakan ini jelas, tetapi tidak destruktif. Ia menjaga integritas pribadi sekaligus keutuhan jam’iyyah.

Karena itu, persoalan yang kini dihadapi NU bukan sekadar soal siapa yang memimpin. Melainkan soal bagaimana NU menjaga tradisi etik dan konstitusionalnya. Ketika konstitusi organisasi sekali saja dilanggar dan pelanggaran itu diterima sebagai kewajaran, NU kehilangan pijakan dalam menyelesaikan konflik di masa depan. Tanpa rule of the game yang dihormati bersama, setiap konflik akan selalu berpotensi berulang, semakin tajam, dan semakin sulit diselesaikan dengan islah sejati.

NU besar bukan hanya karena jumlah warganya, tetapi karena kedewasaan etik para ulamanya dalam mengelola perbedaan. Masa depan NU sangat ditentukan oleh kesediaannya untuk kembali pada teladan sejarahnya sendiri: musyawarah, ketaatan pada konstitusi, dan kebesaran jiwa dalam menghadapi konflik. Tanpa itu, NU berisiko terjebak dalam pusaran konflik ala “Ken Arok” yang tidak pernah benar-benar selesai, dan justru menggerogoti kekuatan jam’iyyah dari dalam.

Pada akhirnya, seluruh tulisan ini hanyalah perspektif. NU jauh lebih paham bagaimana keluar dari masalahnya sendiri. NU adalah rumah besar para ulama, gudang ilmu, kebijaksanaan, dan hikmah, yang sama sekali tidak perlu digurui oleh siapa pun.

Penulis teringat pada sebuah pernyataan yang pernah didengar dari Kiai Syauqi Abdul Chalim Shiddiq (Cucu Mbah Shiddiq Jember), ponakan Kiai Achmad Shiddiq—atau barangkali dari adiknya, Kiai Saiful Ridjal. Seingat penulis, beliau mengutip pernyataan Gus Miek bahwa NU akan “mati” di atas tahun 2000 M.

Lihat juga...