Pentas Lakon “Ruang Tunggu” Teater Braille: Temukan Cahaya dalam Kegelapan

Pada pertunjukan Ruang Tunggu oleh Teater Braille yang digelar di Dewan Kesenian Malang, Jawa Timur, kegelapan langsung dihadirkan melalui ruang pertunjukan.

Menurut Broto Wijayanto, biarlah gelap itu natural, tanpa penonton harus diberi kain yang menekan mata dan menutup pandangannya. Benda yang terlalu lama menempel di mata, dapat memicu stres penonton. Difabel netra kategori total tetap tak dapat melihat meski mata tidak ditutup kain, dan itu yang ingin ditawarkan pada penonton.

Ada satu hal menarik lagi yang dimunculkan dalam pertunjukan Ruang Tunggu kedua ini. Hal ini sejatinya juga sudah dicoba di pertunjukan pertama, tapi lagi-lagi belum sepenuhnya sempurna. Kendalanya masih seputar artistik dan estetika yang masih berkaca pada pandangan orang awas/berpenglihatan.

Akhirnya, di kali kedua ini Broto Wijayanto selaku sutradara benar-benar menghilangkan semua estetika visual itu. Sebagai penguat dalam simulasi menjadi orang netra, para penonton dibariskan dalam sejumlah barisan, kemudian dituntun masuk ke dalam ruang pertunjukan oleh teman-teman netra. Hal ini merupakan konsep pembalikan di mana umumnya orang berpenglihatanlah yang menuntun netra.

Dalam sesi sarasehan, teman-teman Teater Braille mencoba menyederhanakan teknis ini sebagai sebuah edukasi sekaligus memperkenalkan cara komunikasi fisik yang semestinya dengan difabel netra.

Dari sini, bisa dikatakan keseluruhan pertunjukan kedua Ruang Tunggu adalah upaya penggalian bentuk dramaturgi yang cocok untuk seniman teater netra.

Hal ini tidak hanya ditelisik dari segi pertunjukan, tetapi juga dari umpan balik dari para penonton setelah sejenak menjadi “buta” dan hanya mampu mendengar saja. ***

Lihat juga...