Pentas Lakon “Ruang Tunggu” Teater Braille: Temukan Cahaya dalam Kegelapan

Orang-orang yang hadir menonton pertunjukan ini memang sebagian besar terdiri dari masyarakat berpenglihatan. Akan tetapi, sebab Teater Braille mengusung label disabilitas di dalamnya, maka turut diundang juga penonton dari kalangan difabel lainnya, termasuk difabel tuli.

Sebelum pertunjukan berlangsung, Broto Wijayanto selaku sutradara memang sudah memaparkan ketentuan dan aturan yang nantinya berlaku.

Termasuk di antaranya adalah penonton dipersilakan keluar meninggalkan ruang pertunjukan apabila merasa tidak nyaman dengan kegelapan yang dihadirkan.

Sesuai dengan prediksi teman-teman Teater Braille dan Broto sendiri, kebanyakan penonton difabel tuli akhirnya memutuskan buat keluar di tengah-tengah pertunjukan berlangsung.

Hal itu tak lain karena realitanya, teman-teman tuli selama ini hanya mengandalkan kemampuan visual di dalam menikmati sajian pertunjukan.

Ketika penglihatan mereka direnggut sejenak dalam pertunjukan itu, tentu muncul berbagai macam kesan, termasuk tidak nyaman dan bahkan sensasi pusing.

Di sisi lain, penonton-penonton berpenglihatan juga mengutarakan keresahan yang tidak jauh berbeda. Sebagian merasa apabila selama pertunjukan berlangsung, mereka menangkap kebingungan dan ketidaktahuan yang selama ini tidak pernah mereka alami.

Namun, mereka juga menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya. Tidak lain karena pertunjukan ini berhasil menyuguhkan sebuah bentuk estetika yang selama ini jarang dan bahkan tidak pernah mereka temui di pertunjukan teater lain.

Salah satu umpan balik yang cukup berkesan datang dari Soekarno Mulyono, salah seorang penonton dari kalangan netra. Ia mengatakan bahwa pertunjukan ini berhasil menguras emosinya habis-habisan, sebab tidak hanya dari segi cerita tetapi pertunjukan ini berhasil mewakilkan keresahannya selaku individu yang tidak mampu melihat.

Lihat juga...