Ia menambahkan, dengan adanya peran narator turut membantunya menciptakan gambaran visual dari aksi-aksi yang sedang berlangsung di atas panggung.
Umpan balik-umpan balik seperti ini tentu menjadi pencapaian besar bagi teman-teman Teater Braille. Kesan-kesan beragam tersebut tidak hanya berarti bahwa pertunjukan ini berhasil secara cerita, tapi juga dengan bentuk dramaturgi yang ditawarkan.
Bisa dibilang, ini adalah langkah awal yang prestisius bagi Teater Braille dalam mencari gaya pementasan mereka. Walau pada dasarnya definisi tak terlihat bagi seorang difabel netra tidak seutuhnya bisa diwakilkan dengan kegelapan, tapi setidaknya ini mampu memberikan gambaran bahwa seputus asa itulah ketika kita kehilangan penghilatan.
***
Pertunjukan teater dengan konsep gelap apalagi diiringi dengan narasi pengganti bisikan, merupakan bentuk inovasi baru. Menurut salah satu penonton, ini adalah gebrakan yang sangat berani oleh teman-teman netra.
Konsep eksperimental yang hadir dari dunia mereka, berpotensi menjadi salah satu bagian dari kekayaan bentuk teater di Indonesia. Sebuah pertunjukan yang terbilang realis jika dilihat dari sudut pandang teman-teman netra.
Doni Kus Indarto, salah seorang alumni senior dari Jurusan Teater ISI Yogyakarta yang saat ini menetap di Malang, mengatakan bahwa ini adalah terobosan yang mengeksplorasi kekayaan artistik dan menonjolkan kebebasan difabel netra dalam berekspresi.
Pada tahun 2013, seniman Joned Suryatmoko pernah memunculkan konsep gelap bersama teman-teman netra di Teater Gardanalla Yogyakarta, dalam lakon “Margi Wuta”.
Dalam pertunjukan itu, penonton nondifabel ditutup matanya, kemudian ditempatkan pada tempat duduk terpisah-pisah dan saling berjauhan. Tujuannya agar penonton dapat berimajinasi secara liar melalui suara yang dimunculkan oleh aktor-aktor netra.