Pentas Lakon “Ruang Tunggu” Teater Braille: Temukan Cahaya dalam Kegelapan

Proses latihan dari teman-teman Teater Braille juga menjadi hal yang menarik untuk dibahas dalam tulisan ini. Tidak jauh berbeda dari pementasan yang pertama, kali ini teman-teman kembali menjalankan formula latihan yang serupa.

Proses pembacaan naskah yang dilakukan secara jarak jauh/terpisah melalui VN (voice note) grup WhatsApp serta tidak adanya naskah fisik selain dalam format PDF.

Proses latihan juga terbilang singkat sebab kemampuan menghafal dialog teman-teman netra yang cukup cepat sehingga memudahkan penggarapan di atas panggung.

Bahkan, unsur artistik hanya berat pada properti saja, sementara rias dan kostum tidak terlalu dikedepankan karena memang kondisi panggung yang gelap gulita.

***

Bagi teman-teman netra, ada tidaknya cahaya mungkin tidak begitu penting, mengingat fungsi alat visual mereka yang tidak berperan besar dalam kehidupan sehari-hari.

Akan tetapi, berbeda kasus dengan para penonton yang mayoritas bukan difabel netra. Empat puluh menit adalah waktu yang cukup panjang bagi seseorang untuk terjebak di dalam kegelapan.

Kemungkinan-kemungkinan liar seperti munculnya tekanan mental, ketidaknyamanan, dan hal-hal emosional lainnya tentu menjadi pertimbangan besar bagi Teater Braille sebelum mementaskan pertunjukan ini.

Namun, Broto Wijayanto selaku sutradara memang meniatkan hal itu dari awal. Ia beranggapan bahwa kehilangan kemampuan melihat selama empat puluh menit tidak ada apa-apanya ketimbang teman-teman netra yang seumur hidup.

Karena dari awal, salah satu misi dari pertunjukan ini adalah edukasi eksperimental tentang pengalaman netra yang berusaha dibawa masuk ke dalam kesadaran orang-orang berpenglihatan. Walaupun kemudian ada hal-hal unik yang terjadi sesudah pertunjukan selesai.

Lihat juga...