Berkaca dari pementasan pertama di Festival Minikita Inkubasi Teater 2025, konsep estetika kegelapan tersebut memang sudah berusaha dieksplorasi oleh Teater Braille.
Akan tetapi karena beberapa hal, yang juga diakui oleh Yuda Wira Jaya—pimpinan Teater Braille yang turut menyutradarai pementasan pertama—konsep tersebut tidak mampu terealisasikan, bahkan belum sempat terjamah dengan sempurna.
Akhirnya, pada pementasan di Dewan Kesenian Malang inilah konsep tersebut ditinjau kembali sekaligus dimatangkan sehingga lahirlah sebuah pertunjukan teater yang gelap sepenuhnya.
Broto Wijayanto, sutradara dari pementasan kedua naskah ini kurang lebih adalah pencetus awal dari tawaran estetika tersebut. Pada awalnya, ia mencoba menggali bentuk-bentuk yang mungkin bisa mewakilkan teman-teman difabel netra.
Namun akhirnya, konsep gelap dipilih sebab kurang lebih mampu menggambarkan wujud visual yang selama ini dimiliki oleh teman-teman netra.
Selama empat puluh menit, penonton didudukkan di dalam ruang pertunjukan yang benar-benar minim cahaya.
Penanda dari aksi di atas panggung hanyalah berupa dialog para aktor, suara benda dan gerak para aktor, dan juga narasi yang disampaikan seorang narator untuk mewakilkan peran seorang pembisik yang selama ini umumnya hadir mendampingi teman-teman netra dalam menyaksikan pertunjukan visual.
Poin terakhir bisa dikatakan menarik sebab kehadiran narator yang mewakilkan peran seorang pembisik juga dimaksudkan sebagai edukasi disabilitas kepada penonton dalam menjelaskan tentang bagaimana selama ini difabel netra menikmati sajian-sajian visual, entah itu pertunjukan teater, film, bahkan sajian-sajian nonpertunjukan seperti seminar atau sejenisnya.