Menelisik Misteri Dua Buku Noorca M Massardi

Apalagi di era digital seperti sekarang, puisi wisata Noorca bisa dimaknai juga dalam perspektif hiperrealitas, bisa mendesakkan pengaruh tertentu dan bahkan bisa membentuk selera laku wisata yang memadai dalam benak publik.

Sebagai pembanding, misalnya, puisi Joko Pinurbo yang tertera di kawasan Teras Malioboro Yogya, yaitu selarik diksi indah Yogya Terbuat dari Rindu, Pulang, dan Angkringan.

Puisi-puisi Noorca pun buat saya mirip dengan puisi jitu Joko Pinurbo tersebut.

Puisi yang jitu merekatkan kenangan banyak orang. Puisi yang jitu mewakili emosi dan keterikatan kerinduan publik atas daerah tertentu.

Bayangkan, andai saja di berbagai ruang publik di Bali puisi wisata Noorca tersebut tampil sebagaimana puisi Joko Pinurbo di kawasan wisata yang ada di Yogya, amboi alangkah indahnya….

Puisi wisata yang juga bisa menjadi mural memesona di ruang publik. Namun, apakah jika di Bali hal itu memungkinkan?

Ya puisi wisata yang juga bisa menjadi bagian dari fiksi digital, terjumpai di Instagram atau Facebook, menjadi bagian penerang jalan atas kawasan obyek wisata tertentu.

Mungkin jika bisa berbicara, puisi-puisi wisata Noorca akan menuntut hak jawab agar bisa berperan lebih dari sekadar menjadi buku.

Menjadi bisa tersosialisasi lebih luas hingga menembus batas usia pembaca: bentang kornea dari para generasi seusia Noorca hingga ke generasi milenial, gen z, bahkan juga generasi alpha, dan seterusnya, dan seterusnya, dan seterusnya…

 

Cinta sebagai Sampiran Pemanis

Sama seperti dalam buku Bali Lelungan, buku 71 Kata Cinta Kota juga merupakan rekaman ingatan perjalanan.

Yang membedakan pada buku  71 Kata Cinta Kota juga merekam jejak perjalanan di kota lain selain di Bali, maka yang tersaji adalah judul-judul puisi seperti Belitong, Soreang, Pariangan, Ternate, Malioboro, Purworejo, Gorontalo, dan lainnya.

Lihat juga...