Menelisik Misteri Dua Buku Noorca M Massardi

Saya sendiri suka dengan paragraf akhir dari puisi tersebut. Baiklah saya kutipkan untuk mewakili perspektif saya.

Di pura kulihat dirimu termangu, atau mungkin ragu/ apakah kita harus datangi, atau kita kembali/ menjalani bunga karma, yang entah dari mana/ sebagaimana cinta kita, yang entah sejak kapan/ apakah dari masa lalu, atau baru dimulai//

Begitulah Noorca cukup lihai menitipkan jejak perjalanan, menitipkan kenangan pada setiap obyek puitik yang ada di Bali.

Terasa sekali, di tangan Noorca, Bali muncul sebagai jejak memori yang istimewa.

Dalam kenyataannya, untuk setiap pakansi di dalam negeri, boleh jadi Pulau Bali memang menduduki peringkat tertinggi untuk selalu dikunjungi oleh Noorca.

Dibandingkan pulau lain di Indonesia, nujum tentang Bali merasuk sebagai prioritas hidup untuk selalu ditengok.

Oleh sebab itulah, sangat terasa Noorca tak mau melewatkan setiap obyek yang dikunjungi menjadi pantas jika harus ditekuk lutut dalam  puisi-puisinya.

Di mana kaki berpijak di tempat tertentu di Bali, haruslah lahir puisi. Bahkan dalam setiap tarikan napas ketika di Bali, haruslah jadi puisi.

Seperti itulah rumusan sederhananya. Artinya di Bali juga Noorca selalu memeroleh puisi yang diidam-idamkannya.

Puisi yang tak malu-malu kucing dirawat dan diperlakukan begitu memukau di dalam laptopnya agar bisa menghampiri publik dalam bentuk buku.

 

Puisi Wisata

Kalau bicara peran puisi dalam konteks yang lebih luas, tidak hanya ditilik pencapaian estetika diksinya saja, boleh jadi puisi-puisi Noorca tentang Bali ini merupakan puisi wisata yang ideal.

Sebuah alternatif strategi mengemas pariwisata dalam bentuk puisi.

Lihat juga...