Kepemimpian Presiden Soeharto sangat sentral dan figur dihormati di Asean. “Kakak Tua”dari pemimpin-pemimpin Asean. Gaya diplomasinya tenang dan pragmatis tapi berwibawa. Negara lain melihatnya sebagai penyeimbang dan pemimpin tidak formal ASEAN.
Kondisi politik regional mendukung. Negara-negara ASEAN (Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina) saat itu menghadapi ancaman yang sama: Komunisme. Lebih memilih kerja sama daripada konflik.
Politik LN Orba pada regional asean: pragmatis dan tidak menggurui. Indonesia tidak memaksakan ideologi atau sistem pemerintahan. Negara tetangga merasa aman. Diplomasi Indonesia berbasis pada kepercayaan, solidaritas, dan stabilitas. Bukan dominasi. Presiden Soeharto sering pula menggunakan “personal diplomacy”. Menjalin hubungan pribadi dengan pemimpin negara tetangga. Termasuk terhadap Lee Kuan Yew (Singapura) dan Mahathir Mohamad (Malaysia).
Meskipun militer kuat di dalam negeri, Indonesia tidak mengintervensi secara langsung negara lain. Kecuali kasus Timor Leste. Justru kekuatan militer Indonesia dianggap sebagai stabilizer kawasan, bukan ancaman.
ASEAN pada saat itu sangat fokus pembangunan ekonomi dan membendung pengaruh komunis dari Indochina. Presiden Soeharto mendukung kerja sama ekonomi. Terutama lewat Proyek Industri ASEAN (ASEAN Industrial Projects) yang mempererat hubungan.
Selain secara terbuka mempromosikan non intervensi terhadap anggota, Presiden Soeharto seringkali menggunakan backchannel diplomacy. Ialah saluran belakang dalam meredakan konflik.
Konflik Kamboja – Vietnam (1978–1991): Invasi Vietnam ke Kamboja tahun 1978. Backchannel diplomacy Presiden Soeharto: menggunakan Ali Alatas (Menlu RI) diplomasi diam-diam dengan China, Vietnam, dan faksi-faksi Kamboja. Mendorong Jakarta Informal Meeting (JIM) (1988 dan 1989) Mengizinkan penggunaan Indonesia sebagai mediator netral, tanpa publikasi besar. Menjaga komunikasi pribadi dan informal dengan PM Hun Sen dan Pangeran Sihanouk untuk menyatukan berbagai faksi Kamboja.