ASEAN Way: Orba dan Reformasi

Potensi konflik di wilayah Asean sangat tinggi. Sengketa Laut Cina Selatan masih memanas. Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei (anggota ASEAN) terlibat sengketa klaim wilayah dengan China. Filipina vs Vietnam memiliki klaim tumpang tindih. Negara-negara Asean memiliki respon yang beragam terhadap Beijing dalam merespon Laut Cina Selatan.

Thailand vs Kamboja memiliki potensi konflik laten atas Candi Preah Vihear. Sebagaimana kasus ini mencuat kembali saat ini. Kasus Ambalat antara Indonesia vs Malaysia.

Terdapat “isu minoritas dan etnis lintas negara. Kasus Rohingya (Myanmar). Patani Melayu (Thailand Selatan). Adanya “isu migrasi dan tenaga kerja” / perdagangan orang di Malaysia – Indonesia – Filipina – Myanmar. “Isu lingkungan dan sumber daya alam” seperti kabut asap lintas batas (Transboundary Haze). Pembangunan Dam di Sungai Mekong. Laos dan Kamboja membangun bendungan besar yang memengaruhi aliran air ke Vietnam dan Thailand.

Adanya perbedaan garis politik dan Hak Asasi Manusia seperti Myanmar pasca-kudeta 2021. Indonesia dan Malaysia mendorong ASEAN bersikap tegas terhadap junta militer Myanmar. Thailand, Kamboja, dan Laos cenderung netral atau mendukung junta. Internal ASEAN terbelah.

Adanya persaingan ekonomi dan proteksionisme. Negara-negara ASEAN bersaing dalam menarik investasi asing, industri manufaktur, dan ekspor. Kebijakan protektionis atau subsidi dalam negeri bisa memicu ketegangan antar anggota. Misalnya soal tarif perdagangan atau hambatan non-tarif.

Kenapa Asean Way efektif pada masa Orde Baru. Efektifitasnya meleleh pada era reformasi?

Ada kepemimpinan stabil pada masing-masing negara Asean pada era itu. Dari sudut pandang ultra demokrasi mengistilahkannya sebagai kepemimpinan otoriter. Misalnya presiden Soeharto (Indonesia). Mahathir Mohamad (Malaysia). Lee Kuan Yew (Singapura). Ferdinand Marcos (Filipina) Ne Win (Myanmar/Burma). Thanom Kittikachorn (Thailand).

Lihat juga...