“Pers ramai menulis kematian misterius sejumlah orang dengan menyebutnya “penembakan misterius”, atau disingkatnya lagi dengan sebutan “petrus”. Kalangan cendekiawan dan juga di forum-forum internasional ada yang menyinggungnya, mengeksposnya. Dia tidak mengerti masalah sebenarnya. Kejadian itu misterius juga tidak. Masalah sebenarnya didahului oleh ketakutan yang dirasakan rakyat. Ancaman-ancaman yang datang dari orang-orang jahat, perampok, pembunuh dan sebagainya. Seolah-olah ketenteraman di negeri ini tidak ada. Yang ada seolah-olah hanya rasa takut saja. Orang-orang jahat itu tidak hanya melanggar hukum, akan tetapi sudah bertindak melebihi batas perikemanusiaan. Umpamanya saja orang tua sudah dirampas kemudian masih dibunuh. Perempuan yang diambil kekayaannnya dan si istri orang lain itu masih juga di perkosa oleh orang jahat itu di depan suaminya. Itu sudah keterlaluan. Apa hal itu mau didiamkan saja?. Kita harus mengadakan treatment, tindakan yang tegas. Tindakan tegas bagaimana?. Ya, harus dengan kekerasan. Tetapi kekerasan itu bukan lantas dengan tembakan, dor! Dor! Begitu saja. Bukan !, tetapi yang melawan, ya, mau tidak mau harus ditembak. Supaya, orang banyak mengerti bahwa terhadap perbuatan kejahatan masih ada yang bisa bertindak dan mengatasinya. Maka meredalah kejahatan-kejahatan yang menjijikkan itu”.
Itulah gambaran kebijakan Petrus. Dituturkan sendiri oleh Presiden Soeharto. Melalui buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” halaman 389.
Perang melawan kejahatan itu merupakan koreksi atas skenario Benny Moerdani. Pemberantasan penjahat dilakukan melalui metode perang antar gangster. Presiden Soeharto menolak rencana itu. Ia memilih mengakuinya secara terang-terangan sebagai kebijakan negara. Presiden pasang dada bertanggung jawab. Untuk meminimalisir ketidakakurasian sasaran. Hal sulit ketika dielapas sebagai perang antar gangster.