Mural, Seni Publik dengan Banyak Pesan

Redaktur: Satmoko Budi Santoso

SEMARANG – Menyusuri sudut Kota Semarang, termasuk di sejumlah kampung wisata, kita akan dengan mudah menemukan grafiti atau mural pada tembok bangunan. Ada yang menilai gambar atau coretan tersebut mengganggu, namun ada juga yang menilai hal tersebut bagian dari seni dan penyampai pesan.

“Ya, secara umum seni coretan atau gambar tersebut, sering dikelompokkan dalam tiga kategori yakni vandalisme, grafiti dan mural,” papar seniman asal Semarang, Arif Hadinata selaku founder HOKG Studio, saat ditemui di Semarang, Minggu (27/6/2021).

Ketiganya memiliki pesan yang berbeda. Dipaparkan, vandalisme lebih ke arah coretan yang tak jelas atau bersifat merusak, tanpa ada unsur keindahan atau pesan tersirat bahkan hanya sekedar corat-coret.

Sementara, graffiti lebih mempertimbangkan komposisi warna, garis, bentuk dan volume untuk menuliskan kata, simbol atau kalimat tertentu. Sedangkan, untuk mural lebih condong ke bentuk gambar atau lukisan, yang memberikan pesan kepada masyarakat.

“Saya mencontohkan karya terbaru saya, mural berukuran 16 meter x 5 meter, untuk Marifood Akademi, temanya soal edukasi yang diperankan tokoh Gatotkaca, yang mencerminkan kegiatan belajar mengajar. Pesannya, ya Gatotkaca saja mau mengajar dan belajar, kenapa kita tidak,” terangnya.

Dipaparkan, dalam berkarya, Arif membutuhkan apa yang disebutnya sebagai literasi visual, yakni konsep visual yang didapatkan dalam kehidupan sehari-hari, kemudian dikemas dalam desain, lalu dituangkan dalam seni mural yang dibuat sesuai dengan style dari masing-masing pembuatnya.

“Selain literasi visual, dalam membuat mural, dibutuhkan skill dalam mewarnai melukis dan membuat skala dengan ukuran besar. Syarat lainnya, yakni niat dan semangat untuk memberikan pesan dan kesan, karena esensi dari membuat mural, selain menjadi medium berkarya, juga untuk penyampai pesan kepada audience yang melihatnya,” terangnya.

Lihat juga...