Mural, Seni Publik dengan Banyak Pesan
Redaktur: Satmoko Budi Santoso
Di satu sisi, dirinya juga tidak menampik masih ada kawan-kawan yang kurang paham dalam menempatkan karya di ruang publik, sehingga muncul istilah vandalisme dan terkesan mengotori.
“Namun saat ini, stereotip tersebut di Kota Semarang, perlahan sudah mulai pudar, karena banyak teman dari komunitas grafiti urban yang aktif masuk ke kampung-kampung, minta izin kepada warga dan kita membuat karya,” terangnya.
Salah satunya, melalui kelompok Kolektif Hysteria, yang mengajak para seniman street artist untuk masuk ke kampung-kampung, kemudian memperkenalkan diri berkarya.
“Sudah beberapa kali kita menggelar kegiatan, dengan mengajak para seniman untuk bergabung, baik seniman lokal Semarang atau luar kota, untuk menyumbang karya seni mural di ruang publik,” terang pendiri Kolektif Hysteria, Adin Hysteria.

Misalnya kegiatan di kampung Bustaman, lewat Tengok Bustaman yang menjadi respons isu-isu kampung kota dalam bentuk artistik, dengan menggandeng banyak seniman dan para urbanis.
“Mural sebagai satu karya seni rupa, bisa dimanfaatkan menjadi elemen estetik pada ruang publik. Penempatan mural pada ruang publik, tidak hanya menjadi penyampai pesan, namun juga bisa menjadi hiburan yang menarik bagi masyarakat yang menikmatinya,” tandasnya.
Hal senada juga terlihat di kampung Pelangi Semarang, yang juga menjadi kampung wisata di Kota Semarang. Sederet mural yang tergambar pada dinding rumah warga, mampu dikemas sebagai penyampai pesan, sekaligus daya tarik wisata.