Rebut Kekuasaan, PKI Lakukan Operasi Militer dan Politik

Bisa dimaklumi, ketika informasi penembakan dan pembunuhan berdatangan di kediamanya, Mayor Jenderal Soeharto, sebagai tokoh senior second line TNI AD, segera terpanggil untuk (1) menemukan pimpinannya, baik yang sudah gugur maupun yang masih hidup; (2) menghindarkan TNI AD dari kelumpuhan akibat kekosongan pimpinan; dan (3) mempersiapkan tindakan apa yang mesti dilakukan, termasuk menindak pelaku pembunuhan dan penculikan.

Mayjen Soeharto kemudian bergegas menuju Kostrad dengan menggunakan pakaian tempur tanpa pengawal dan sopir pribadi. Hal itu menandakan kesiapannya untuk menghadapi segala kemungkinan, termasuk jika harus terbunuh sebagaimana nasib pimpinannya.

Secara batiniah, sikap yang tergambar pada diri Mayjen Soeharto pada pagi itu merupakan keteguhan hati dan dorongan yang amat kuat, untuk melawan ketidakadilan walaupun jiwa dan raga sebagai taruhannya. Terminolog Bali menyebutnya puputan, yang artinya karena keyakinan akan kebenarannya, maka dibela hingga nafas terakhir. Orang Jawa menyebutnya natas yang artinya suatu perpaduan antara keteguhan hati dan dorongan kuat untuk tidak secara ragu-ragu membela kebenaran dan keadilan serta menyerahkan semua risiko-risikonya kepada takdir Tuhan. Sikap ini tidak mungkin dimiliki orang-orang yang jiwanya dibimbing cita-cita pragmatis, misalnya untuk merebut kekuasaan, sebagaimana tuduhan sebagian orang kepada Mayjen Soeharto dalam peristiwa G30S/PKI.

Bagi second line TNI AD, komunike G30S melalui RRI pada pukul 07.15, yang mengemukakan gerakan Letkol Infanteri Untung telah mengambil tindakan penangkapan kepada para jenderal AD yang hendak melakukan coup kepada Presiden, memiliki makna sebagai jawaban atas teka-teki siapa pelaku pembunuhan pimpinannya.

Lihat juga...