Rebut Kekuasaan, PKI Lakukan Operasi Militer dan Politik

Selain itu, operasi militer tersebut juga menangkap dan menyandera Agen Polisi Tingkat II Sukitman, yang pada saat kejadian sedang patroli di sekitar kediaman D.I Pandjaitan, menembak mati penjaga kediaman Waperdam II Dr. Leimena Ajun Inspektur Polisi karel Satsuit Tubun, menembak putri Jenderal Nasution Ade Irma Suryani Nasution dan membawa Ajudan Menhankam/ KASAB Lettu Piere Andreas Tendean untuk kemudian di eksekusi di Lubang Buaya.

Sesuai kalkulasi elit PKI, tersingkirnya pucuk pimpinannya akan menjadikan TNI AD layaknya gerbong Kereta Api tanpa masinis. Keberadaannya akan dengan mudah dikelola untuk tidak membahayakan agenda-agenda perebutan kekuasaan yang sedang diskenariokan. Pergantian pimpinan TNI AD yang pro PKI diyakini dapat membalik arah TNI AD, yang semula berhadapan secara diametral menjadi aset potensial pendukung G30S/PKI.

Pada tahap berikutnya, pembalikan arah TNI AD juga diyakini menempatkan Presiden Soekarno, yang pada awalnya ditempatkan sebagai sosok kawan sementara perjuangan partai komunis, dalam posisi tersudut, untuk kemudian dengan mudah disingkirkan dalam tatanan politik pasca-kudeta.

Beberapa sejarawan menyodorkan analisis kegagalan eksekusi terhadap Jenderal Nasution dan gagalnya Brigjen Soepardjo menjemput paksa Presiden Soekarno di Istana Merdeka pada pagi hari tanggal 1 Oktober 1965, sebagai faktor penting kegagalan G30S/PKI. Namun apabila dicermati secara mendalam, kecerobohan pasukan penculik melakukan pembunuhan tiga Jenderal, yaitu Men/Pangad Jenderal A. Yani, Asisten IV Men/Pangad Brigjen D.I. Panjaitan, dan Deputi III Men/Pangad Mayjen Haryono MT di kediamannya, sebenarnya merupakan faktor penting pintu awal kegagalan G30S/PKI.

Lihat juga...