DUDUK di buritan lantai dua, di atas kapal kayu yang akan membawaku dari Pelabuhan Tigaraja menuju Tuktuk: kunikmati bentangan air biru serta embusan angin yang menabrak kulit.
Saat tengadah, kudapati langit biru bercampur putih. Kubayangkan kau ada di sana, menatapku sembari tersenyum lebar.
Lihat, seperti janjiku dulu, kukunjungi tanah kelahiranmu. Akan kudatangi tempat-tempat yang selalu kau ceritakan padaku.
Tiga ratus enam puluh hari rindu menggumpal dalam hati. Memang tidak akan kutemui kau, namun aku percaya, berada di sini akan membuatku merasa dekat denganmu.
Sekitar empat puluh menit kemudian, deretan hotel dan penginapan di bibir danau menyambut kedatanganku. Aku turun di depan Hotel Carolina.
Katamu, semasa SMA setiap malam minggu kau bersama teman-temanku menari tor-tor untuk menghibur tamu di hotel itu.
Ah! Ah! Belum apa-apa aku merasa lebih dekat denganmu, Rona! Itu membuat hatiku hangat.
***
HOTEL Carolina terbilang jauh dari rumahmu. Katamu, kau dan teman-temanmu selalu menempuhnya dengan berjalan kaki.
Setiap Sabtu malam, kalian selalu melakukan pertunjukan tari tor-tor di hotel itu. Kalian tidak mengeluh, meski tengah malam itu hujan menari gemulai. Kalian melangkah pulang sembari bercanda.
Maka aku pun berjalan kaki. Ingin kulintasi jalan yang kerap kau lintasi meski aku tidak cukup nekat melakukannya malam hari, seperti yang kau lakukan bersama teman-temanmu.
Sisi kiri jalan yang kulintasi disemaki deretan hotel maupun penginapan, sementara sisi kanan dipenuhi tempat makan, kios cinderamata serta pedagang lainnya.
Sambil berjalan aku mengenangmu, Rona. Kuingat pertemuan pertama kita di kampus. Perubahan drastis suhu Samosir dan Jakarta membuat pipimu memerah.