Di Tuktuk, Aku Mengenangmu

CERPEN T. SANDI SITUMORANG

Logat bicaramu berbeda. Aku tidak kaget ketika akhirnya jatuh cinta padamu. Kau cantik sekaligus tangguh.

Tangguh! Kuulang kata itu dalam hati. Mungkin, ketangguhanmu itulah penyebab perpisahan kita!

Kugelengkan kepala sembari mengayunkan langkah kian cepat. Menyalahkan yang sudah terjadi serupa dengan menggugat takdir.

“Rumahku tidak jauh dari Jalan Gereja. Dikelilingi hamparan sawah. Di situ masih sepi, satu dua wisatawan melintas dengan sepeda atau motor. Bahkan tidak jarang bule berjalan kaki. Mereka berjalan dari Tuktuk menuju Tomok, atau sebaliknya. Jarak kedua desa itu hanya sekitar lima kilometer,” katamu dulu.

Kau menambahkan, selain menggarap sawah, kalian memiliki warung kopi di depan rumah.

Ada beberapa warung kopi di sekitar Jalan Gereja. Aku masuk pada salah satunya. Aku tidak akan bertanya apakah ini warung keluargamu. Pun tidak akan kutanya di mana rumahmu andai ini bukan warung orang tuamu.

Sesekali kutatap perempuan pemilik warung. Diakah perempuan yang telah melahirkanmu, Rona?

Aku menebak-nebak sembari membandingkan matanya dengan matamu, mencari kesamaan hidungnya dengan hidungmu.

Kemudian kuhentikan keingintahuan itu, karena sesungguhnya aku lebih memilih tidak usah tahu. Tidak bisa kubayangkan rupa kesedihan perempuan kurus ini tiga ratus enam puluh satu hari lalu, bila benar ia ibumu. Bukan mustahil kesedihan itu telah berkerak dalam dasar hatinya.

Seperti sedihku yang lelap di dasar hati, Rona. Aku sering tidak bisa mengendalikan diri bila sedih itu menggeliat bangun.

Yang bisa kulakukan adalah mendatangi tempat-tempat yang kerap kita kunjungi di Jakarta, dan sesekali berpikir dalam hati, andai saja kau tidak mendapatkan beasiswa melanjutkan pendidikan S-2 di Jepang. Mungkin tiada perpisahan antara kita.

Lihat juga...