Selendang Ningratri
CERPEN TANTRINI ANDANG
Perlahan aku berdiri. Kudekati lukisan itu lagi. Wajah Ningratri memang masih terlihat ayu, namun aku tak lagi merasakan sesuatu yang menarikku pada pesonanya. Lukisan kakek buyutku itu kini terlihat biasa saja. Benar-benar datar. Tak ada yang istimewa.
Oh… apakah aku telah melakukan kesalahan saat memoles ulang lukisan ini? Seketika aku dirambati rasa bersalah. Bagaimana kalau Om Seno kecewa dengan hasil kerjaku ini? Untuk beberapa saat aku masih memandangi lukisan itu sambil menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal.
Belum selesai aku terheran-heran, sebuah suara kembali terdengar keras. Itu seperti suara pegangan pintu yang dibuka. Asalnya dari ruang depan. Aku segera melangkah keluar kamar.
Sesaat sebelum pintu ruang depan itu tertutup kembali, sayup-sayup aku mendengar suara gamelan dari arah luar. Siapa yang menyetel gamelan petang hari begini?
Lalu…
Deg!
Dadaku berdetak kencang. Sekelebat kain selendang berwarna hijau sempat berkibar sebelum pintu itu benar-benar tertutup.
Aku berlari ke arah pintu itu dan segera membukanya kembali. Tak kulihat apa-apa di luar. Hanya cahaya bulan yang berkilau di langit serta suara gamelan yang perlahan mulai menjauh. ***
Tantrini Andang, lahir di Solo, 10 November 1972. Beberapa cerpennya dimuat di Harian Joglosemar, Majalah Hidup, dan Majalah Story. Selain beberapa antologi, penulis juga telah menulis novel anak, cerita rakyat, dan buku kesehatan yang diterbitkan Penerbit Andi. Karya lainnya adalah sebuah kumpulan flash fiction Cincin Merah Delima. Novelanya Cinta dalam Secangkir Coklat menjadi salah satu karya terpilih dalam lomba novela yang diadakan Bentang Pustaka. Kini masih aktif menulis novel premium di platform Storial.